YOGYAKARTA – Meluasnya wabah virus Corona di beberbagai daerah di Indonesia menunjukan perkembangan yang memprihatinkan. Melansir pusat data COVID-19, Kementerian Kesehatan RI, hingga hari Sabtu (28/3), jumlah pasien positif Corona mencapai 790 orang.
DI Yogyakarta, kasus positif virus Corona atau COVID-19 di meningkat tiga kali lipat dalam sehari per 25 Maret 2020. Berdasarkan data Pemprov DIY, jumlah pasien positif COVID-19 menjadi 18 kasus, 3 di antaranya meninggal dunia dan satu orang dinyatakan sembuh. Jumlah ini naik drastis sejak Pemprov DIY mengumumkan kasus ke-1 pada 15 Maret 2020
Beragam cara pun dilakukan masyarakat Yogyakarta untuk mencegah penyebaran pandemi virus Corona tersebut. Di sejumlah kampung di Yogyakarta masyarakat ramai-ramai melakukan lockdown secara mandiri. Kampung-kampung tersebut mulai membatasi lalu lintas masyarakat, terutama dari luar kawasan.
Salah satu inisiatif untuk mencegah penyebaran virus corona dilakukan oleh warga di Kampung Ngampel di tiga wilayah Rukun Tetangga (RT) di Harjobinangun, Pakem Sleman, Yogyakarta.
Tiga RT yakni RT 04, RT 05, dan RT 06 yang masuk dalam Rukun Warga (RW) 06 menutup sebagian akses jalan yang biasa dipakai untuk lalu linta warga setempat.
Atau pun juga di Jl. Mrican, Caturtunggal, Kec. Depok. Sejumlah RT mulai melakukan penutupan jalan masuk ke pemukiman warga.
Lockdown di RT. 07, Mrican, Caturtunggal, Kec. Depok, Kabupaten Sleman, DIY.
Mendapati situasi ini, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Yogyakarta, melalui Ketua Presidiumnya, Astra Tandang menilai, tindakan lockdown yang dilakukan secara mandiri oleh warga Yogyakarta merupakan hal yang patut diapresiasi.
“Aksi lockdown secara mandiri ini pertanda kesadaran publik terkait bahaya virus Corona ini semakin baik di Jogja. Semua berusaha melindungi diri, keluarga dan sesama warga,” ucap Astra.
Namun, menurutnya jauh lebih baik jika dibarengi dengan kebijakan dari pemangku kepentingan di pusat dan daerah, supaya penyebaran virus corona benar-benar dapat dicegah secara komprehensif dan melibatkan kebersamaan masyarakat secara luas.
“Menangkal virus Corona ini tidak bisa dilakukan secara mandiri dan parsial saja dan tanpa payung hukum yang jelas. Kita berharap negara segera turun tangan. Dan kita tahu bahwa ini awalnya dari ketidakhadiran negara,” kata Astra.
Dirinya tidak mau jika lockdown mandiri ini bisa berujung pada konflik horizontal di tengah masyarakat.
“Kita pun tidak ingin lockdown mandiri yang dilakukan warga bisa mengarah pada otoritarianisme sipil atau populis yang berpotensi pada konflik horizontal,” terangnya.
Menurutnya Pemerintah mesti segera turun tangan dengan menjalankan UU No. 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan dan segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah terkait standar sebuah daerah boleh menerapkan karantina wilayah atau lockdown.
“Kita kan sudah memiliki payung hukum soal kebijakan karantina atau lockdown ini yaitu UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Ya, dijalankan aja itu. Sampai hari ini juga kan belum ada Peraturan Pemrintahnya. Karena itu, semestinya Presiden Jokowi segera menerbitkan Peraturan Pemerintah jika membutuhkan regulasi teknis karantina kewilayahan agar proes karantina bisa dilakuan dengan standar yang baku,” papar Astra.
Spanduk warga di Desa Ngampel, Harjobinangun, Sleman Yogyakarta. Warga melakukan inisiatif untuk menutup akses jalan, dan memusatkan lalu lintas warga melalui satu pintu.
Lebih dari itu, bagi Astra, jika pemerintah memberlakukan karantina wajib untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
“Sejauh ini kan Pemerintah hanya menghimbau untuk social distanching, tapi kenyataan di masyarakat udah lockdown. Jangan biarkan masyarakat ambil sikap lockdown secara mandiri. Karena itu segera saja jalankan peraturannya. Dan kalau memang diberlakukan karantina, jangan lupa kebutuhan dasarnya dijamin juga,” imbuh Astra. (RED)