Adven, Kukenang Manismu Pada Kelahirannya

Oleh: RP. Ovan, O. Carm
(Penulis adalah Kepala Sekolah di SMPK Alvarez Paga)

 

Saban hari aku berjumpa dengan seorang tua. Tubuhnya kumal, di dekil oleh abu dan debu jalanan. Barisan giginya telah menguning seperti musim panenan tiba. Apa yang kau pikirkan? “tanyanya” aku memikirkan tentangmu “batinku” sambil bibirku berkata bagaimana bisa kau menjalani hidupmu bapak tua?

Anakku. Dulu ketika ribuan air mata berhamburan memimpikan sebuah kemustahilan yang bisa datang membawa harapan agar tak ada lagi perselingkuhan antara hari dan kehidupan. Bulan dan bintang menjanjikan air matanya saat pagi mulai bersemi dengan diam-diam di ufuk timur negeri ini. Embun. Yeah embun itu anak dari perkawinan bulan dan bintang saat malam menjuntai di bawah kegelapan yang temaram, sepertinya dua insan antara bulan dan bintang begitu romantis berbulan madu pada semesta.

Anakku, hidup selalu mengiringi air mata tak ada air mata tanpa kehidupan. Aku mengulangi hidupku dari sebuah kelahiran baru.

Bagaimana melahirkan kelahiran baru? “tanyaku dengan ambigu” apakah bapak tua ini seorang gila yang frustasi atas kehidupannya? Bertumpuk tanya. Hai anakku. Mungkin saja kau mengukur pikiranku dengan kegilaan seorang bapak tua. Aku selalu rindu pada hujan jika tiba waktunya hujan, aku terkenang bulan kelahiranku. Apakah itu Desember? Yeah tepat sekali perkiraanmu. Desember, hujan yang perlu dihujani. Setiap waktunya tiba, aku selalu menangis dengan kelahiranku bukan karena ramainya orang datang mengenang diriku dan merayakan kelahiranku. Bukan itu. Namun, kelahiranku bagi kaum-kaummu hanya sebatas sebuah pameran fashion bagian memamerkan kekayaan yang berkualitas dengan produk-produk pasaran yang tak seimbang dan sejalan dengan hati yang semakin larut pada ke-duniawi-an. Ah, anakku aku ingin tisu selembar, sebab air mataku ingin tumpah tanpa mampu menampungnya saat jatuh. “Bisakah, tanganmu merangkul tubuhku?”

Anakku, adven hampir saja tiba. Kemarin kita merayakan kebiasaan yang sederhana merentangkan waktu sebisa mungkin agar adven mengembalikan kita untuk merunduk dalam syahdu dan tunduk dalam harap jangan sekali-kali pasrah. Sebentar lagi lonceng-lonceng gereja memanggil kita pulang di bawah lingkaran adven yang meriah. Satu-satunya jalan untuk menantikan harap memupuk asa dan melangkah maju tanpa jemuh sekalipun tak harus jadi semu.

Lembaran-lembaran ungu menghidangkan pernak-pernik gereja. Apakah kau pernah menyaksikan lingkaran cinta tanpa ujung itu? Maaf aku lupa kapan terakhir kali aku mengingatnya? “jawabku membatin.

Sudahlah, anggap saja aku guru yang sedang mengajari-mu dari cara seorang kumal di dekil abu dan debu.

Dulu seingatku saat balia usiaku beranjak kanak-kanak lingkaran itu tidak lebih dari sebuah gambaran bumi yang mengambarkan persatuan akan cinta yang berkesudahan. Lingkaran adven pertama, lilin yang benyala dalam nyanyian syahdu disentuh oleh harapan “seorang nabi akan lahir” kata seseorang dalam perjanjian lama. Lamanya penantian kita berujung jawaban lilin sang nabi.

Di lingkaran kedua Betlehem menanti, surga kecil penuh air mata, digedor pintu tanpa hati lalu katanya kemudian “ketoklah maka pintu akan dibukakan bagimu” atau jika tuan rumahnya tidak membukakan pintu bagimu “kepakkan saja alas kaki, dan sampaikan selamat jalan pada bekas kaki bisa punggungmu meninggalkannya di tikungan rumah yang tuanya berhak menumpangkan kamar tempat bagimu beristirahat.” Sebab cinta tak hanya sekali untuk dimiliki.

Kemudian pada lingkaran adven ketiga orang-orang sepertiku girang-gembira. Sebentar lagi ada pesta untuk kaum-kaum sepertiku. Aku yakin pestanya sederhana dengan hidangan roti tak beragi tanpa daging apapun toh kaum-kaumku yang bisa memiliki koin dari remah-remah jalanan yang dibuang jadi sampah kemudian antara aku dan binatang lainnya saling menatap dengan penuh kejuaraan siapa yang berhak atas itu. Aku igin kau tahu hadirlah di malam sukacita kami. Rasakan sensasi menjadi manusia seutuhnya dengan menelanjangi tubuhmu biar dibaringkan dengan permandian yang abadi dan kekal.

Terakhir adven dinyalakan dengan lilin kedamaian. Nyalanya tenang, hening, di penghujung senja deruh ombak dan teriakan para nelayan tak lagi berterbangan mengaung. Sudah saatnya kita hening, diam dalam pulang yang mengembalikan hari yang biasa-biasanya itu. Toh sebentar lagi Aku dilahirkan dari seorang wanita yang paling cantik dari semua wanita. Ibuku pernah mengandungku dalam melahirkanku dengan damai di atas kepalaku lingkaran kecil girang bersinar ALLELUYA, mungkinkah rinduku ingin pulang kembali. Adven, kukenang manismu pada kelahiran-Nya. Saban waktu ku-kenang bapak tua itu dalam sebuah mimpi saat aku mengira “ketika matiku bahwa Tuhan masih ada.

Margeria, 29 November 2019