Di Jalanan, Cinta Itu Tumbuh Dengan Indah

 

Di titik paling ujung di bumi
Segala harap berserak, berantakan penuh darah.
Semoga-semoga yang dilantunkan dalam doa, memberontak memohon kabul.
Ditempat paling sunyi di bumi, satu satunya kebenaran adalah penyesalan berulang ulang. Kehilangan adalah pandangan paling romantis.

Di tempat lain.
Harapan tumbuh di jalanan.
Seorang gadis bermata sayu mengibarkan luka, berharap peduli.
Dipundaknya ada semoga yang memohon amin
Pandangan terindah adalah isak tangis setiap hati yang semakin layu.

Senyum di bibirnya tak lagi semanis biasanya, lantas, matanya menyaksikan penderitaan.
Ketidakadilan memanggilnya pulang, dikibarkarkannya kemenangan atas hati anak-anak negeri yang tersayat kekuasaan.
Tubuhnya mengalir keringat perjuangan.
Langkahnya gertak, senjatanya kata, mulutnya lantang berteriak, siapa peduli?

Jauh dilubuk hatinya kemerdekaan merekah dengan indah
Darah di nadinya mengalir penuh cinta, dia berubah rupa laksana sepucuk mawar merah di antara kegersangan harapan. Tumbuh begitu cantik.
Setiap detak jantugnya adalah semoga, setiap denyut nadinya adalah harap. Meronta agar lekas tiba pada ketenangan.

Di ujung jalan, di atas kepasrahan yang begitu lapang, kata-kata merangkak menuju ketidaktahuan arah. Mencari ketenangan, menemui kehilangan.
Segala kemungkinan diperdebatkan, tetap saja, kata itu tak menemui kepulangannya.

Kata-kata itu jatuh, kehilangan bait, ketiadaan makna, dan mereka tinggalah kata, kata yang tak punya apa-apa, kata yang tertati-tati, mereka menanti mati.

Dan gadis itu.
Hadir sebagai bahagia.
Dipungutnya kata-kata yang penuh duka
Memeluk dan mengusap semua luka
Dan jadilah kata-kata itu
Sebuah puisi yang indah.
Dalam peluk sang gadis, kata-kata itu tumbuh sebagai cinta.
Gadis itu. Padanya kekagumanku jatuh.

Jenderal

Ada yang lebih bahagia dari sekedar syukur,
Adalah syukur atas jumpa yang tak pernah lupa. Sejauh apapun jarak terbentang panjang, perjumpaan tetaplah tentang pernah dan akan.
Sebab kita adalah temu yang tak pernah direstui pisah.

Sore ini, di depanku, bercumbu mesra arsi sawah pedesaan dan indah jingga senja.
Mereka dengan lapang merayakan perpisahan, jingga melambai, padi merestui.
Tak ada sedikitpun duka, yang ada hanyalah ketenangan batin.
Burung-burung bersiul indah, serdadu sore mulai nampak keluar dari sarangnya. Mereka melambai jingga yang sedikit demi sedikit menghilang. Tak ada kepanikan, sebab mereka tahu, esok hari jingga itu akan kembali.
Mereka percaya, bahwa segala yang jumpa akan berpisah dan segala yang cinta akan berjumpa.
Di desa begitu indah, Jenderal.

Sebelum senja itu benar-benar tenggelam, aku memintanya menyusup di antara gedung-gedung tinggi ibu kota.
Menggores jingganya di mata Jenderal, menatap tempat paling sunyi di relung hatinya dan meletakan doaku di sana.

Tak apa, tangan tak bergenggam, mata tak menatap, yang pasti doaku dengan setia memeluk jiwamu, sajakku.

Pondok pak de, Oktober 2019.

Oleh: PenaBiru.