Oleh : Edi Hardum, SH, MH, salah satu penasehat hukum korban. Tinggal di Jakarta.
Tahun-tahun belakangan, Manggarai Raya (Manggarai, Manggarai Timur dan Manggarai Barat), Nusa Tenggara Timur (NTT) selalu dirundung tindak pidana, utamanya kekerasan atau kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan.
Pelakunya pria dewasa: ada oknum polisi, lelaki masih bujang dan ada lelaki sudah beristri.
Kejadian paling akhir yang mengusik hati sebagian masyarakat adalah kasus kejahatan seksual yang diduga dilakukukan PK (laki-laki 55 tahun, sudah beristri) terhadap anak perempuan berumur 9 tahun, Rensi (bukan nama sebenarnya) di Kampung Sampar, Desa Pong Lale, Kecamatan Ruteng, Manggarai, NTT, pada Jumat, 1 November 20019.
Karena kasus ini sungguh menyakiti hati banyak orang, maka penulis langsung mengiyakan permintaan keluarga korban untuk menjadi salah satu penasehat hukum korban, selain penasehat hukum utama Romo Marthen Jenarut, SH, MH dan saudara Valens Dulmin, SH, MH.
Penulis tambah kesal lagi ketika membaca media online media-wartanusantara.id, dimana pada 5 Desember 2019, menayangkan berita dengan judul “Tiga Pengacara Ini Minta Polres Manggarai Lakukan Tes Kebohongan Pada Pelapor Kasus Dugaan Pelecehan Anak”. Tiga pengacara yang dimaksud ialah Ana Margareta B. Lewar, S.H, Silvianus Hardu, S.H, dan Emilianus Sarwandi, S.H.
Mereka pengacara terduga pelaku berinisial, PK. Mereka meminta penyidik Polres Manggarai agar melakukan tes kebohongan kepada pelapor, yakni korban dan orangtuanya.
Setelah penulis membaca berita tersebut, penulis berusaha segera menanggapi, namun karena banyaknya pekerjaan lain maka baru sekarang menanggapinya.
Sejarah dan Manfaat
Tes kebohongan dengan alat lie detector atau mesin polygraph (pendeteksi kebohongan) pertama kali digunakan di Amerika Serikat (AS). Mesin ini sendiri ditemukan James Mackenzie tahun 1902.
Tes kebohongan dengan menggunakan alat ini umumnya untuk mengetes kebohongan tersangka atau terduga tindak pidana.
Mesin polygraph mencatat perubahan proses fisik terduga atau tersangka pelaku kejahatan seperti detak jantung dan tekanan darah.
Polri melakukan tes kebohongan terguga pelaku atau tersangka kejahatan selain dengan mesin tersebut, juga dengan melibatkan psikolog atau ahli psikologi atau kriminilog.
Psikolog atau kriminolog mengetes kebohongan terduga pelaku atau tersangka kejahatan dengan sistem wawancara.
Dari pertanyaan yang diajukan bisa diketahui terduga pelaku atau tersangka berbohong atau sengaja menyangkal atas tuduhan serta bukti-bukti yang disampaikan pelapor (Ronny Nitibaskara, 2019).
Tes kebohongan baik dengan lie detector maupun dengan wawancara psikolog atau kriminilog tidak diatur secara tegas dan eksplisit dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun, ketentuan tentang alat bukti lie detector telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yakni Pasal 5 Ayat (1) dan (2).
Pasal 5 (1) UU ITE menyebutkan,”Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah”.
Pasal 5 ayat (2) UU ITE menyebutkan,”Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia”.
Pada kasus tindak pidana khusus seperti korupsi dan terorisme, penggunaan sistem elektronik yang dalam hal ini penggunaan alat bukti lie detector pun telah diatur sebagai alat bukti yang sah.
Lie detector yang diperoleh dari keterangan tersangka atau terdakwa dapat dijadikan sebagai alat bukti petunjuk apabila hasil pemeriksaan atau keabsahan dari tes alat pendeteksi kebohongan (lie detector) yang berupa print out tersebut diberikan keterangan seorang ahli laboratorium forensik.
Sehingga lie detector dalam hal ini dapat dikatakan sebagai alat bukti yang sah dalam hukum acara yang berlaku di Indonesia, yaitu sebagai alat bukti keterangan ahli, surat, dan petunjuk. Dalam Pasal 184 KUHAP disebutkan alat bukti yang sah yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Untuk Terduga Pelaku
Orang yang belajar ilmu hukum, apalagi orang yang mengaku sebagai advokat pasti tahu soal teori hukum pembuktian. Dalam teori hukum pembuktian dibahas khusus soal beban pembuktian.
Beban pembuktian adalah suatu penentuan oleh hukum tentang siapa yang harus membuktikan suatu fakta yang dipersoalkan di pengadilan, untuk membuktikan dan menyakinkan pihak mana pun bahwa fakta tersebut memang benar-benar terjadi sebagaimana diungkapkannya (Munir Fuady, 2012:45).
Dalam kasus tindak pidana, beban pembuktian harus dilakukan oleh pelapor atau korban. Sementara dalam kasus perdata, beban pembuktian sama-sama dilakukan penggugat dan tergugat.
Berdasarkan teori hukum pembuktian dan sejarah serta penerapan tes kebohongan banyak negara dan Indonesia sampai saat ini, maka permintaan tiga kuasa hukum terduga pelaku yang berinisial PK di atas agar korban serta orangtuanya dilakukan tes kebohongan adalah keliru !
Dalam kasus tersebut di atas, yang harus dilakukan polisi cq penyidik Polres Manggarai adalah mendalami pengakuan korban, saksi-saksi serta alat bukti yang disampaikan korban.
Bertolak dari pengakuan dan alat bukti yang disampaikan korban serta saksi dan keyakinan penyidik sendiri, maka terduga pelaku bisa dilakukan tes kebohongan. Jadi bukan korban atau pelapor yang harus dites kebohongannya!
Penulis sangat yakin kalau penyidik benar-benar serius dan profesional maka pelaku kasus ini segera ditemukan.
Apalagi informasi yang penulis dapat bahwa terduga pelaku adalah Ketua Dewan Stasi, dimana kunci Kapela dia terus yang menyimpan (pegang).
Ingat, korban mengaku bahwa pelaku melakukan perbuatan bejatnya (kepada korban) di dalam Kapela, dimana Kapela itu hanya bisa dibuka oleh atau atas seizin Ketua Dewan Stasi. Penulis berharap, tidak lama lagi polisi membekuk pelaku ! Semoga. xx