Penulis: Fransiskus Pratama
kegalauan yang menyelimuti seluruh relung hatiku.
Di samping kosku menjulang gedung bertingkat hampir setinggi langit biru. Indahnya sore itu
hanya semburat senja yang menyelip masuk disela-sela gedung itu.
Seakan memberiku penghiburan akan resahku pada pemilik hati yang sulit membuka pintu
untukku. Cahayanya menguningkan semua dedaunan pada ranting pohon karena ditempanya.
Aku hanya tersenyum bangga akan ciptaan Tuhan. Meski, hatiku terus mengiris karena perasaan
yang gejolak untuk memilikinya seutuhnya tetapi tak pernah tersampai.
Namanya, Mina. Dia memiliki tubuh bak gitar Spanyol, rambutnya lurus terurai hampir
mencapai pinggangya. Kulitnya kuning langsat. Itulah gambaran singkat tentang perempuan
yang merasuki pikiranku setiap malam.
Laki-laki mana yang tidak suka dengan dirinya. Termasuk aku yang terus meronta karena ingin
memiliki dirinya seutuhnya.
Mina adalah perempuan keturuanan Tionghoa. Setiap hari jika bertemu denganku dia tak pernah
mengutarakan sepata katapun kepadaku. Tapi dia selalu menyunggingkan senyum pada lekungan
bibirnya yang merah jambu padaku.
Aku selalu terlambat, jika aku ingin menyapanya. Karena aku selalu tertunduk malu padanya.
Saat kepalaku tegak kembali, dia sudah berjarak 100 meter dari keberadaanku.
Apalagi mengutarakan cinta padanya. Mungkin gunung merapi jantungku akan meletus
berkeping-keping. Aku hanya mencintainya secara diam-diam.
Aku seperti putri malu yang sekali disentuh langsung layu. Tapi, hanya dengan dirinya saja.
Kalau dengan perempuan lain aku pandai merayu. Kata-kata mutiara mengalir dari bibirku.
Meski hanya gombalan biasa.
Suatu siang, aku memberanikan diri mendekatinya. Sebelum dirinya melempar senyum padaku,
aku duluan menyapanya.
“Hai Mina,” kata pertama dari mulutku.
“Hai,” balasnya ,”ada perlu,” lanjutnya semabri menunjukan wajahnya yang seirus.
“Nggak apa-apa,” balasku pelan.
Semua isi otakku yang sudah dipenuhi kata-kata mutiara yang telah kupersiapkan dari kosku
hilang seketika. Aku selalu gugup apalagi jarak kali ini jauh lebih dekat dari ribuan pertemuan
dengannya.
Wajahnya yang serius dan penuh tanya karena aku tak seperti biasanya menghanguskan semua
keberanianku untuk mengutarakan isi hatiku yang sesungguhnya padanya. Padahal, aku sudah
mentah-mentah.
“Kamu uuda..aaah,” aku menahan
“Udah apa,” tanyanya penuh kebingungan.
‘Nggak,” jawabku datar
“Tapi, rasanya ada hal yang serius yang ingin kamu katakan, terlihat dari wajah seriusmu,”
balasnya.
Aku tak menjawabnya, diam sembari memberikan amplop putih yang telah kutorehkan tinta
dengan kata-kata yang mewakili segala perasanku. Aku sudah menduga dengan keberanianku
sebelum aku memanggilnya. Sehingga aku menggoreskan kertas putih yang ku diberikan kepada
Mina.
Dia pun menerimanya dan langsung meninggalkanku. Dalam hatiku berharap dia membacanya
dan segera memberi suarat balasan untkku.
Aku sedikit bangga, karena isi surat itu aku rangkai dengan kata-kata puitis mungkin sekelas
Chairil Anwar. Lagaku sembari tersenyum.
Dua minggu sudah surat yang kuberikan padamu. Namun, tak juga kamu memberi surat balasan.
Hatiku bercampur galau dan gamang. Gamang rasanya, takut kamu membalasanya dengan
penolakan.
Tapi, semua resahku yang menggunung akan penantian cintamu, sedikit-demi sedikit mulai
hilang. Karena aku sudah menumpahkan semua rasaku yang terependam lewat goresanku.
Taka da jejak, tak ada suara. Kamu mengechatku lewat pesan via whatshapp. “Tunggu aku
ditaman biasa,” katamu sembari memberi pesan emoji bergamabar love. Aku tertawa saja, usai
kamu memberi pesan itu, namun aku tak membalasa.
Aku pun berpakaian rapi, parfum yang kusemprot pada bajuhku menusuk penciumanku.
Langsung tancap gas, dengan motor Revo, aku meluncur ke taman.
Setiba di taman, kamu sudah duluan menunggu.
“Sudah dari tadi,” kataku pelan sembari melempar senyum padamu.
Kamu menjawab datar, “Baru lima menit,” jawabmu singkat.
Kita pun duduk bersama di bangku itu. Aku bahagia bisa berjarak dua sentimeter denganmu.
Jantungku berdenyut kencang karena perasaan bahagia yang menggebu bisa bersama wanita
secantik dirimu berduaan di taman yang dihiasi bunga-bunga yang baru bermekaran. Seperti
perasaanku yang sedang bermekaran tehadap dirimu,” kataku dalam hati.
“Aku sudah membaca isi suratmu,”kata pertama yang kau lontarkan padaku. “Aku senang
dengan kejujuranmu,”lanjutmu.
ku mendengar kata-kata cinta balasan darimu. Dak..dik..duk terus menggema dari dadaku.
“Kamu serius mencintaiku dengan tulus,” katamu sembari senyum.
Aku mejawab singkat. “Bukankah kamu sudah membaca semua isi suratku apakah ada hal yang
berbohong pada setiap bait kalimat yang kueja dalam surat itu,”jawabku.
Coba kamu menatap senja yang bergantung di langit biru itu. Senja itu menjadi saksi akan surat
yang kutulis padamu. “Mengapa senja, senja kan bukan manusia,”katamu pelan.
Senja adalah ciptaan tuhan yang tak pernah menjadi malam ataupun siang. Dia selalu menjadi
diri sendiri dan hadir di waktunya. Sama seperti aku saat menulis suratku. Aku menulisnya
dengan tulus, sesuai perasaan yang kurasakan padamu.
Tetes-tetes bening mengalir dari kelopak mata Mina. “Aku bangga pada dengan ketulusan
cintamu,” sembari menepuk pundakku.
“Kamu tahu kan kita dihalangi jurang. Kamu Kristen, aku Islam,”kata Mina sembari mengusap
matanya yang basah.
Dia pun langsung pergi. Kira-kira sekiatar seratus meter dariku. Aku berteriak kuat. “Kenapa
kalua beda agama. Bukankah agama hanya soal keyakinan, soal hati,”teriakku kuat.
Dia tak menoleh, aku mendengar desahan napasnya. Dia menangis teriska-isak.
Mina berlari sekuat tenaganya dan pergi tanpa pamit. Hingga aku tak menemukan keberadaanya
lagi.
Sebulan kemudian, aku mengunjungi rumahnya. Sekedar untuk menanyakan kabarnya. Namun,
taka da rupanya di kediamanya. Hanya pembantu yang selalu setia mendengarkan kalau ada
persoalan. Setiba di rumahnya, aku tak mendengar suara apa pun, sunyi.
Hanya terdengar lolongan angina yang menempa daunan di depan rumahnya
“Tok..tok,” aku mengetuk pintu.
“Mari masuk,” kata perempuan berperawakan lucu itu. “Duduk dulu deh,” sambungnya.
Perempuan itu pun menghidangkanku dengan segelas air putih karena aku menolak kopi hitam.
Dia pun mulai bercerita. Emang non Mina tak pernah menceritakan kepadamu tentang penyakit
kanker yang menderitanya.
Aku tak menjawab apa pun. “Sebenarnya non Mina, mengidap kanker stadium empat,”lanjutnya
.
Aku pun langsung menanyakan Rumah sakit tempat Mina menjawab. Setelah itu, aku langsung
pergi meninggalkan rumah itu.
Badanya diselimuti selang. Aku tak mengetok pintu..”Doorr..doorr.
“Mina….bangunlah..,”isakku.
Namun, Mina tak menjawab sepata kata pun. Tangisanku pecah, menggema seisi ruangan itu.
Kulihat tangan Mina bergerak. Tapi enggan membuka mata. “Maafkan aku, aku juga
mencintaimu,”katanya pelan.
Usai mengatakan itu padaku. Jari-jemarinya tak bergerak lagi. Aku langsung bangkit berdiri.
Dan berteriak memanggil Dokter yang biasa merawatnya. “Maafkan kami dek, nyawa Mina tak
tertolong lagi, kami sudah berusaha semaksilan mungkin,”ujar Dokter itu.
Tangisanku pecah sembari memeluk Mina dengan erat. Air mataku membasahi semua pakaian
yang dikenakannya. “Selamat tinggal Mina, bahagia bersama para kudus di Surga,”kataku dalam
hati.