Pengusaha Asing, Mendominasi Labuan Bajo

Oleh: Engel Hasiman
Sebagai Advokat di KANTOR PENGACARA BOY SULIMAS,S.H.,M.H & ASSOCIATES

Munculnya Revolusi Industri telah mendorong semakin berkembangnya korporasi atau Pengusaha, industrialisasi sebagai bagian dari resep pembangunan, memang sudah lama disadari akan mendatangkan dampak negatif. Biasanya mereka yang tak diuntungkan oleh adanya proses itu atau kejadian yang diakibatkan oleh proses tersebut hanya dianggap sebagai ekses yang memang mesti diterima demi tujuan yang mulia. Pertumbuhan ekonomi dan kemajuan dalam konteks pembangunan menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi, industri adalah sebuah jawaban terutama industri ekstarktif. Industri ekstraktif ini telah diakui banyak orang sebagai pemicu utama rusaknya Lingkungan Hidup di Negeri ini atau bahkan diseluruh dunia. Dan, bukan hanya itu industri ini juga akan memberikan peluang untuk terjadinya bencana besar bagi masyarakat disekitarnya.

Arah dan pendekatan pengelolaan lingkungan hidup dilandasi oleh cara pandang (Visi) yang luas dan tajam jauh ke depan dengan misi yang jelas dan program-program yang nyata yang bermanfaat dalam rangka memwujudkan suatu kebijaksanaan program pengelolaan lingkungan hidup dengan paradigma. Mengintegrasikan tuntutan penerapan hak asasi, demokrasi dan lingkungan hidup dalam suatu kelestarian fungsi lingkungan. Banyak pihak berharap (seluruh elemen Masyarakat) bahwa Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berbuah manis. Pasalnya, sebelum dilakukannya revisi terhadap UU tersebut publik selalu dirugikan dan dikalahkan dalam kasus apapun yang bersentuhan dengan penegakan hukum lingkungan.

Masih hangat diingatan, bagaimana kebijakan dalam pemerintahan Jokowi yang membawahkan dampak buruk bagi konservasi dengan kebijakannya membuka keran investasi melalui izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) dalam kawasan Taman Nasional Komodo dan beberapa tempat wisata lainnya di Labuan Bajo- Kabupaten Manggarai Barat. Selain berdampak buruk bagi konservasi, kebijakan ini juga berdampak buruk bagi pembangunan pariwisata. Mengingat posisi sentral Satwa Komodo dan ekosistem alami yang sejauh ini menjadi branding utama destinasi Pariwisata di Kota Labuan Bajo. Oleh karena itu, Pemerintahan Jokowi sebaiknya mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut karena pada akhirnya akan menuntungkan para pengusaha besar ataupun Korporasi yang nantinya akan merusak lingkungan hidup di Labuan Bajo, beserta ekosistem alami lainnya yang dijadikan tempat wisata.

Kebijakan Yang Menguntungkan

Munculnya kebijakan melalui IPPA dalam kawasan Taman Nasional dimulai ketika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan Permen Nomor P.48/Menhut-II/2010 tentang IPPA di suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Melalui IPPA, perusahaan-perusahaan ataupun korporasi dapat melakukan investasi dalam bentuk Izin Usaha Penyedia Jasa Wisata Alam (IUPJWA) atau Izin Usaha Penyedia Sarana Wisata Alam (IUPSWA).

Segera setelah Permen itu diterbitkan terdapat tujuh perusahaan yang mengajukan IPPA di Taman Nasional Komodo (TNK) dan beberapa perusahaan lainya yang atas nama lokal dengan iming-iming investasi untuk meningkatkan lapangan pekerjaan dan mengurangi kemiskinan. Dua di antaranya yaitu PT. Sagara Komodo Lestari dan PT. Wildlife Ecotourism sudah mulai merealisasikan proyek pembangunan di Pulau Rinca dan Pulau Padar pada tahun 2018.

Pada tahun 2019 pihak KLHK telah menerbitkan Permen baru Nomor P.8/MENLHK/SETJEN/KUM. 1/3/2019 tentang IPPA di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam sebagai revisi atas permen sebelumnya. Yang terbaru dari Permen ini adalah proses perizinan IPPA yang jauh lebih mudah melalui apa yang disebut dengan sistem OSS (Online Single Submission). Selain ini juga segala mekanisme perizinannya pun telah di atur melalui Permen KLHK Nomor P.22/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2018 tentang Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria Pelayanan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik Lingkup KLHK.

Dengan di terbitkannya Regulasi ini yang memberikan keuntungan bagi para pengusaha ataupun kroporasi-korporasi besar yang ingin memperoleh banyak keuntungan dan pastinya akan merusakan Lingkungan Hidup di Labuan Bajo, adanya Regulasi ini juga selain memberikan keuntungan bagi para pengusaha akan mengusir semua warga asli Labuan Bajo yang ada disekitarnya dan bukan tidak mungkin akan menghilangkan kebudayaan masyarakat Adat Manggarai Barat. Sebagai salah satu contoh Negara Italia adalah Negara yang memiliki Investai terbanyak di Labuan Bajo, para investor dari Negara Pizza ini menanamkan modal mereka pada enam unit bisnis pariswisata, terutama hotel, restoran, dan wisata bahari. Kafe La Cucina yang menjadikan tempat faforit para turis mancanegara merupakan salah satu hasil investasi mereka di bisnis restoran.

Hal ini menunjukkan kepada kita sebagai Masyarakat asli Manggarai khususnya Labuan Bajo Manggarai Barat perlahan-lahan makanan khas Manggarai maupun tradisi asli Manggarai akan hilang dengan adanya tradisi baru yang masuk ke Labuan Bajo dan Masyarakat kita tidak akan mampu bersaing dengan itu. Negara yang lain juga adalah Perancis sebagai Negara kedua penanam modal terbesar di Labuan Bajo dengan menginvestasikan pada empat unit bisnis, yang didominasi bisnis hotel. Sementara Jerman dan dan Inggris yang menempati peringkat ketiga dengan tiga unit bisnis lebih banyak mengosentrasikan diri pada hotel dan wisata bahari.

Dalam bukunya Anthony Giddens dikenal dengan istilah “Manufactured Uncertainy” dengan sebuah metafor Junggernaut (truk besar) yang meluncur tanpa kendali sehingga tidak ada satu manusia pun yang mampu meloloskan dari situasi seperti ini, semua pasrah dan mungkin hanya berdoa. Dalam hal adanya kebijakan Pemerintah yang merugikan masyarakat Junggernaut itu merupakan kebijakan Pemerintah dan tidak ada satu masyarakat pun yang mampu merubah itu terkecuali dengan kekuasaannya di sini masyarakat hanya berdoa dan kehidupan manusia yang akan dijadikan korban dengan adanya kebijakan pemerintah. Dan hal ini Eric From menyebutnya sebagai Molloch, berhala yang destruktif, di mana kehidupan manusia atau masyarakat harus dikorbankan.

Dengan demikian, kebijakan Pemerintah Jokowi yang membolehkan perusahaan-perusahaan asing maupun perusahaan yang atas nama lokal akan membawa dampak buruk bagi ekosistem dan Lingkungan Hidup serta membawakan dampak buruk bagi masyarakat. Pemerintahan Jokowi sebaiknya mepertimbangkan kembali atas kebijakan IPPA karena akan menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat, dan nantinya masyarakat asli akan tersingkirkan. Dan juga kepada KLHK harus segera meninjau kembali penerapan Permen Nomor P.8/MENLHK/SETJEN/KUM. 1/3/2019 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam.