Penulis: Ido Jantur
Setiap narasi umumnya dibangun di atas fundasi dikotomi polaritas. Ada semacam kutub positif dan kutub negatif yang dipakai sebagai frame dasar dari sebuah konstruksi narasi.
Begitu pula pola narasi yang dibangun dalam komunikasi sosial yang ‘defisit nalar’, bernama gosip. Dalam dunia gosip, kelompok tertentu akan ditampilkan dengan frame negatif. Sementara penggosip dan kroni-kroninya, akan ditampilkan heroik melalui frame posiitf.
Tukang Gosip: Poti Kose (Setan)
Gosip!
Dalam praktik dunia gosip, ada kecenderungan 8 dari 10 orang akan menempatkan Anda sebagai pengisi karakter ‘antagonis bangsat‘ dalam setiap narasinya. Sementara itu, slot heroik akan diisi oleh pemilik narasi (penggosip). Diskursus inilah yang dalam terminologi kita disebut, “bumbu joak (Dusta)“.
Mudah saja melihat bagaimana “bumbu joak (Dusta)” ini bekerja dalam skema dikotomi naratif. Anda hanya perlu memerhatikan siapa saja yang ada dalam kutub ‘oknum heroik‘ dan siapa saja yang ada dalam kutub ‘antagonis brengsek’.
Mikus sahabat saya, memaralelkan gosip dengan istilah ‘demagogi‘ dan para penggosip dengan istilah ‘demagog‘. Kedua istilah ini sering dipakai dalam konteks wacana politik. Dalam KBBI, terminologi demagogi dijelaskan sebagai “penghasutan terhadap orang banyak dengan kata-kata dusta untuk membangkitkan emosi rakyat”. Sementara itu dalam KBBI istilah demagog dijelaskan sebagai, “(pemimpin) rakyat yang pandai menghasut dan membangkitkan semangat rakyat untuk memeroleh kekuasaan”.
Apa yang dimaksudkan Mikus ini ada benarnya juga. Jika dalam politik agitasi demagogi dimaksudkan untuk memeroleh kekuasaan, maka begitu pun penggosip dan kroninya. Mereka berusaha merebut kekuasaan sebagai satu-satunya orang atau kelompok orang yang punya ‘legitimasi‘ dan berhak menghakimi orang lain dengan memberi label negatif.
Goal akhir dari aktivitas diskursus dangkal seperti ini adalah mengangkat citra penggosip dan para kroni sebagai orang yang baik, bahkan tanpa cela sembari mendiskreditkan subjek tertentu. Para demagog (penggosip dan kroni), tentu tak akan rela kehilangan peran protagonis heroik dalam narasi yang dibangunnya sendiri.
Bagi saya, penggosip dan kroninya bahkan lebih hina dari para demagog. Penggosip adalah “demagognya para demagog”. Jika demagog menyasar penguasa untuk merebut kekuasaan dengan diskursus agitatif, penggosip malah menyasar sesama masyarakat yang tak punya power, dan kebijakan apapun. Tak berlebihan jika orang-orang ini disebut, “lebih demagog dari demagog”.
Gosip adalah diskursus demagogi dalam versi ‘radikal‘. Penggosip dan kroni adalah demagog-demagognya. Anda tak perlu bermalam Jumat di pekuburan sekedar ingin melihat setan. Mereka berkamuflase di antara kita. Tak perlu terlahir dengan karunia “mata gerak” (indra keenam) untuk melihat makhluk-makhluk tersebut. Anda tentu pernah bertemu makhluk-makhluk ini, bukan? (**