oleh

Merawat Ingatan Merayakan Peradaban, Karya Pelestarian Kearifan Lokal Manggarai Barat, Motif Songke Mata Manuk

Oleh: Aloysius Suhartim Karya

Era globalisasi dewasa ini menggeneralisasi peradaban umat manusia di muka bumi. Kekuatan propaganda hingga promosi secara luas dan lebar kesegala penjuru bumi adalah strategi jitu meruntuhkan peradaban suatu bangsa yang telah terawat lama dan diwariskan oleh para pendahulu kegenerasi berikutnya. Intrik politis, memberikan stigma negatif kepada pola hidup suatu komunitas yang lemah akan sumberdaya agar tumbang dan tak berdaya lagi. Kemudia diperdayakan hingga diperbudak tanpa disadari oleh korban adalah bentuk neokolonialisme yang lumrah dilakukan oleh komunitas digdaya di abad 21 ini. Alhasil, ketakberdayaan itu melahirkan glorofikasi yang tak berakhir terhadap penetrasi asing yang masuk langsung menempel itu.

Dogmatisasi yang terus digempur oleh orang pintar itu, membuat kita loose of confident. Kita melihat diri sendiri seperti suatu makluk terkutuk yang dibentuk oleh sang pencipta secara diskriminasi. Apapun yang kita miliki dianggap tak bernilai, ketinggalan zaman dan bila perlu meninggalkannya. Inilah yang terjadi di Manggarai Barat.

Glamor Labuan Bajo dengan gegap gempitanya yang mempesona, ditambah lagi dengan adanya pelabelan internasional seperti Destinasi Pariwisata Super Premium menambah beban masyarakat kita atas perasaan pribadi yang ketinggalan zaman. Perasaan apatis absurd itu adalah racun yang harus dilenyapkan dengan cara ikut arus mengalir. Efek demonstrasi pun terjadi (mengikuti trendy yang dianggap globalis). Berbagai pentrasi asing masuk tanpa disaring namun langsung mengendap lalu diduplikat. Gaya baru pun dipakai dan merasakan adanya pengakuan sosial sebagai masyarakat yang adaptif terhadap era globalisasi.

Ditengah eforia globalisasi yang menggelora itu, ada sosok langka yang merasa resah. Ia pun melihat adanya ancaman kehilangan identitas komunitas kita (Orang Manggarai) dimasa yang akan datang. Keyakinannya diuji dengan pertanyaan siapa kita? Apa yang menegaskan kita sebagai orang bumi putra Manggarai?
Pada dua setengah dedake silam, ia melihat peristiwa tenggelamnya identitas itu dihari ini. Ia pun tergerak untuk mendekatkan diri dengan para tetua Manggarai Barat untuk menyelami filosofi hidup dari peradaban masyarakat Manggarai yang telah dinyatakan sebagai komunitas penyintas dari seleksi dunia seperti penjajahan dan perang tanding yang kerap terjadi. Sejarah dan cerita yang didapatkan menjadi petunjuk untuk merealisasikan mimpinya untuk menunjukan identitas dari kreatifitas kearifan lokal para wanita Manggarai dalam hal tenun sebagai sebuah karya intelektual budaya masyarakat Manggarai.

Seminar yang menghimpun elit politik lokal dan komunitas pengrajin di Manggarai Barat telah ia satukan dalam ruang intelekual, membahas karya inteleKtual untuk menunjukan identitas Manggarai agar tidak dicaplok oleh globalisasi yang kian mengganas itu. Proses panjang ia telah lalui, hingga tahun lalu, sebagai legasinya kepada Manggarai Barat dalam keadaan sendiri setelah sang pujaan hati meninggalkannya selamanya, ia mempatenkan karya intelektuaLnya ke Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mendapat legalitas yang sahih. Ia pun tersenyum lebar, dari perjalanan panjang yang melelahkan, ada hasil yang memuaskan. (No pain No Gain) Motif Tenun Songke Mata Manuk adalah persembahannya untuk Manggarai Barat.

Ia adalah wanita tangguh, penuh dedikasi atas kecintaannya terhadap Manggarai Barat adalah Ibu Elsye Pranda. Istri dari mendiang Bpk. Fidelis Pranda, seorang Bupati pertama di Manggarai Barat yang dikenal sebagai Ema Pembangunan (Bapak Pembangunan).

Dalam acara serial Podcast Talk Show bersama Mabar Bicara Tim dikediaman beliau, ia dengan suara keibuannya menceritakan filosofi yang mendalam dari Motif Mata Manuk yang telah ia dapatkan HAKI dari Kemenkumham. Bahwa Ayam adalah salah satu hewan yang berperan vital dalam segala ritus kehidupan Masyarakat Manggarai umumnya. Dari kelahiran, pernikahan hingga kematian seorang Manggarai. Ayam selalu menjadi media perantara antara kehidupan dunia fana dan dunia kehidupan kekal yang invisible. Ayam, adalah hewan yang responsif terhadap segala hal. Situasi ancaman seperti melihat elang, ia berkokok untuk memperingati bangsanya agar segera selamatkan diri masing – masing. Ayam juga pemberi waktu sepanjang hari kepada manusia. Kokokan ayam menjelang mentari terbit, memberItahukan bahwa waktunya bangun dan segera mengais rejeki diladang/berkebun. Ayam memiliki ketajaman penglihatan. Makanan yang tak berkasat mata bagi manusia ia dapat temukan dan menjadikannya santapan. Perihal itu bermakna bahwa, segala sesuatu yang tersedia di bumi dapat dijadikan sesuatu untuk menopang kehidupan manusia.

Saya, tertegun mendengarkan ceritanya yang ter-rekam langsung oleh peralatan Mabar Bicara Podcast. Ketiga kamera Canon kami pun setia mendokumentasi video perbincangan kami yang asyik nan edukatif bagi generasi untuk terus merawat, melindungi dan menyebarluaskan cerita itu untuk diketahui oleh banyak orang bahwa, kita adalah komunitas intelektual yang berkarya sejak berabad – abad silam.

Status Labuan Bajo sebagai destinasi kelas dunia tentunya sangat relevan dengan karya dari Ibu yang dipanggil Elsye itu. Disaat gempurnya pembangun Kawasan Strategis Pariwisata Nasional diwilayah bahari di Labuan Bajo ini, ada upaya dari beliau untuk menghidupkan sekaligus memperkenalkan atribut budaya Manggarai Barat berupa Motif Tenun Mata Manuk yang kaya makna kehidupan kepada dunia.

Kita ketahui bahwa berwisata harus memenuhi berbagi aspek dalam memenuhi ekspektasi wisatawan saat berkunjung kesuatu destinasi wisata seperti ; Apa yang dilihat atau diamati disuatu destinasi wisata yang Labuan Bajo miliki (What To See), Apa saja yang dapat dilakukan saat mengunjungi Labuan Bajo (What To Do), Apa yang dibeli sebagai ole-ole untuk dikenang dikemudian hari nanti setelah berpelisiran di Labuan Bajo (What To Buy), Apa yang didapatkan sebagai bentuk penambahan wawasan wisatawan saat mengunjungi Labuan Bajo (What To Know)

Dengannya adanya inovasi berupa Motif Mata Manuk ini, tentunya Manggarai Barat akan dikenal dunia, baik alamnya yang indah mempesona maupun budaya dan kearifan lokalnya yang otentik nan eksotis. Mana tidak, semua produk tenun motif Mata Manuk yang dikelolah oleh 20-an orang wanita itu menggunakan bahan – bahan dasar dari alam. Warna dari setiap produk pun mengikuti warna ayam yang manggarai miliki. Para ibu – ibu yang bergabung dikomunitas Penenun Motif Mata Manuk juga mendapatkan penghasilan yang cukup. Mereka pergunakan pendapatan mereka untuk menyekolahkan anak – anak mereka dan menutupi kebutuhan hidup dikampung. Inilah yang mungkin disebut pembangunan berkelanjutan, mempekerjakan orang, tidak eksplotasi alam, mengatasi kemiskinan, meretas kebodohan dan ramah lingkungan.

Pada sesi akhir acara Talk Show, Ibu Elsye Pranda meminta semua pihak dan generasi muda Manggarai umumnya untuk sama -sama merawat atribut budaya, kearifan lokal yang kita miliki agar tidak tereliminasi oleh globalisasi yang indah nan semu itu.

Serial podcast ini akan dipublikasikan pada channel Youtube Mabar Bicara Podcast dalam waktu dekat.

Penulis adalah pegiat wisata (Tour Guide) yang sedang mengembangkan media baru (Podcast) sejak pandemic Covid-19 merebak dunia. Media baru ini adalah sarana digital untuk mendistribusikan gagasan brilian masyarakat untuk saling motivasi, saling edukasi dan saling inspirasi sesama anak bangsa Nusantara. Dengan harapan akan terjadinya transformasi dalam berbagi aspek kehidupan khususnya orang – orang muda dihari – hari yang akan datang.

WARTA UTAMA