Dari yang Termiskin Menjadi yang Terkaya: NTT Bisa!

  •  
  •  
  •  
  •  

Oleh Feliks Tans
(Dosen FKIP/Program Pascasarjana Undana)

Pada tanggal 15 Februari, 2021, mengutip data dari Badan Pusat Statistik NTT, NusaDaily.com menyebutkan bahwa pada bulan September 2020, terdapat 1.159.250 orang miskin di NTT atau 21,21% dari penduduknya saat ini, yaitu 5,326 juta orang. Jumlah penduduk miskin yang sangat banyak itu membuat NTT masuk kategori provinsi termiskin ketiga di Indonesia setelah Papua (26,8%) dan Papua Barat (21,7%). Ini sangat menyedihkan, tetapi tidak ada alasan bagi kita, orang NTT, untuk larut dalam duka nestapa menangisi kondisi itu. Kita harus berusaha sebisa kita keluar dari predikat tak sedap itu dan, kemudian, menjadi yang terkaya di Indonesia. Untuk itu, sejatinya, NTT mampu. Caranya?

Ada banyak. Beberapa, di antaranya, disebutkan berikut ini. Pertama, bermimpi besar. Dream big. Itu, dalam banyak hal, sama dengan cita-cita besar. Visi masa depan. Dalam konteks kita, yaitu NTT yang kini masuk ketegori termiskin ketiga di Indonesia, mimpi itu setali tiga uang dengan visi menjadi provinsi terkaya. Kaya raya. Jauh dari kemiskinan. Kaya sandang, pangan, dan papan. Gubernur NTT, Dr. Victor Bungtilu Laiskodat (VBL), sering mengatakan ini dalam berbagai kesempatan: NTT bisa diubah dari yang termiskin menjadi yang terkaya.

Itu, tentu, bukan hanya soal material, tetapi juga soal spiritual. Soal inspirasi; kaya kebaikan; kaya kasih; dan, kaya karakter unggul. Langkah awalnya adalah mimpi besar setiap rakyat NTT untuk menjadi kaya: “NTT bangkit, NTT sejahtera,” tagline pembangunan Gubernur dan Wakil Gubernur NTT kini. Ini penting karena tanpa mimpi itu, tidak mungkin kita menjadi sejahtera secara material dan spiritual sekaligus. Mustahil.

Kedua, kita gunakan secara total, all out, semua yang kita miliki untuk menggapai mimpi besar itu: jiwa-raga, waktu, ruang, uang, dan relasi. Juga sumber daya alam (SDA) kita. Semua digunakan untuk menjamin bahwa mimpi besar itu bukan sekadar mimpi siang bolong; itu mimpi besar kita bersama yang bisa diwujud-nyatakan. Bisa sekali!

Ketiga, percaya diri. Oto-sugesti. Kita harus yakin bahwa mimpi itu dapat jadi nyata karena kita punya sumber daya manusia (SDM), SDA, sarana dan prasarana yang memadai untuk meraihnya. Dalam perjalanan panjang menggapainya, rasa percaya diri, oto-sugesti, penting. Tanpa dia, sulit bagi kita untuk menggapainya; tanpa dia kita bak petarung yang kalah jauh sebelum pertarungan dimulai.

Keempat, kerja keras dan cerdas. Untuk menjadi kaya (raya), mimpi besar, totalitas, dan oto-sugesti saja tidak cukup. Harus ada etos kerja keras dan cerdas. Ini soal pemanfaatan 60 detik semenit, 60 menit sejam, 24 jam sehari, dan 168 jam seminggu . Secara efektif dan efisien. Ini perlu sebab banyak orang, saya duga, termasuk (atau apalagi?) kita di NTT, mengabaikan ini (Totum pro parte!): lebih banyak tidur daripada bekerja; lebih suka minum dan mabuk serta merokok daripada bekerja secara profesional dan menggunakan uangnya secara lebih cerdas. Tidak mengherankan, jika kemudian menjadi kaya (raya) jauh dari jangkauan. Oleh karena itu, etos kerja yang baik, menurut Ketua Tim Penggerak PKK NTT, Julie S. Lasikodat, sangat penting artinya dalam hidup ini (dalam https://www.cbncindonesia.com).

Program Gubernur NTT, Dr. VBL, seperti “tanam jagung panen sapi,” saya kira, adalah sebuah contoh bagaimana kerja keras dan cerdas bisa membuat kita menjadi kaya. Di sini. Di NTT. Ini, tentu, bukan hanya soal bertani dan beternak, tetapi juga soal kreativitas dalam hal apapun yang kita lakukan dalam mengisi hidup ini: entah sebagai petani, peternak, pedagang, nelayan, aparatur sipil negara, karyawan swasta, pengusaha/pedagang, sopir, TNI/Polri, seniman, penjahit, guru, siswa, dosen, mahasiswa, rohaniawan, politisi, dan/atau apapun peran kita. Kreativitas yang, biasanya, lahir dari pemikiran kritis itu penting sebagai sebentuk cara untuk membuat karya kita menjadi lebih efektif dan efisien dalam menjalani hidup ini.

Kelima, tekad kuat, dalam konteks tulisan ini, untuk menjadi kaya. Strong determination. Tetap kokoh dan teguh di tengah badai. Pantang menyerah. Never give up. Tetap maju, walau ada 1001 halangan yang menghadang. Orang dengan tekad kuat seperti itu tidak akan pernah mundur; dia terus maju, walau ada banyak tantangan. Jika mundur, itu hanya sebuah strateginya untuk mencari alternatif lain yang lebih pas untuk menanggalkan baju usang kemiskinan dan menggantinya dengan baju baru yang lebih elegan: kekayaan, material dan spiritual. Kerja keras dengan keringat yang mengucur deras di ladang, di padang penggembalaan sapi/kerbau/kuda/kambing, di bus, di bemo, di ruang belajar, di manapun dia bekerja, tidak akan pernah meruntuhkan semangatnya untuk terus berjuang. Tidak akan pernah. Itu karena dia bertekad kuat untuk maju dan berhasil serta menjadi kaya (raya).

Keenam, disiplin tinggi. Ini soal penggunaan waktu secara tepat dan taat asas. Dengan demikian, disiplin tinggi ini berkaitan dengan etos keras dan cerdas seperti yang diuraikan di atas. Karakter ini, tentu, penting sebab mustahil orang berhasil, termasuk menjadi kaya (raya), jika dia tidak disiplin. Bagaimana mungkin, misalnya, seorang peternak sukses, jika dia tidak disiplin dalam merawat ternaknya? Bagaimana mungkin seorang petani kopi sukses, jika kopi yang ditanamnya tak pernah terawat? Bagaimana mungkin seorang siswa/mahasiswa cerdas, jika dia tidak pernah pergi ke sekolah dan belajar secara teratur, offline atau online?

Ketujuh, pendidikan sebagai jalan lapang menuju kehidupan yang lebih baik secara ekonomis, sosial, politik, dan budaya. Tidak ada orang pada jaman ini yang hidupnya menjadi lebih baik tanpa pendidikan formal/informal/non-formal. Karena ini salah satu jalan utama menuju kekayaan material dan spiritual sekaligus, pendidikan, tentu, harus dikelola dengan baik oleh pemerintah agar semua orang bisa mengaksesnya dan mutunya tetap terjaga. Untuk menjamin mutunya tetap tinggi – dengan kriteria mutu, antara lain, tamatannya mandiri dan karakternya berterima secara global dan lintas waktu – Program “Merdeka Belajar” dari Menteri Nadiem Makarim perlu dipraktikkan secara lebih taat asas, yaitu belajar dan pembelajaran berbasis bakat/talenta/kecerdasan utama, minat, dan kebutuhan belajar si peserta didik, baik secara offline maupun online (daring) sepanjang masa, termasuk pada masa pendemi “Covid-19-19” ini. Tanpa praktik cerdas seperti itu, sebuah bangsa, termasuk NTT sebagai bagian dari Indonesia, tidak akan pernah menjadi bangsa yang besar, maju, modern, dan makmur.

Last, but not least, terakhir, tetapi tak kalah pentingnya, yakni ini: playing by the rules; bermain sesuai aturan dan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini, orang Romawi kuno memberi nasihat ini: Serva ordinem et ordo servabit te! (Peliharalah aturan, maka aturan akan memelihara engkau!). Artinya? Jangan pernah pakai hukum rimba, yang kuat yang menang! Tidak boleh! Berkelahi dan membunuh haram. Apalagi berkelahi dan membunuh secara masal; saling-merusak; menghalalkan segala cara, termasuk korupsi, untuk mencapai tujuan. Banyak negara di dunia ini hancur berantakan karena aturan diabaikan dan kerjanya cuma merusak.

Jadi, NTT bisa keluar dari predikat sebagai provinsi termiskin ketiga di Indonesia, jika setiap rakyatnya memiliki karakter ini: bermimpi besar, percaya diri, bekerja keras dan cerdas, bertekad kuat untuk maju, berdisiplin tinggi, terdidik, dan taat hukum. Jika tidak, NTT akan tetap menjadi provinsi termiskin ketiga, bahkan lebih jelek daripada itu, di negeri ini kini dan nanti. Ini, tentu, tidak kita harapkan. Karena itu, mari kita tanamkan setiap karakter itu dalam hati kita masing-masing. Itu cara kita untuk segera keluar dari predikat tak sedap itu. NTT bisa, why not? **

WARTA UTAMA