Oleh: Feliks Tans, Peserta Fulbright Senior Research Program di St. John’s Catholic University, New York, 2008-2009.
Pada tanggal 20 Januari, 2021, Joseph Robinette Biden Jr. atau Joe Biden dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) ke-46. Sebagai presiden baru dari sebuah negara adikuasa, bisa dipahami jika semua negara, baik kawan maupun lawan AS, secara sadar atau tidak, berharap banyak padanya untuk membuat dunia ini menjadi lebih baik. Bukan hanya bagi AS, tetapi juga bagi negara apa saja di bumi ini. Bagi semua. Dalam banyak hal. Misalnya, perdamaian antarbangsa, kesejahteraan sosial, ekonomi dan perdagangan, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, pelestarian lingkungan, iklim global, dan perang melawan penyakit seperti Covid-19.
Harapan tersebut, tentu, wajar. Bahkan sangat wajar. AS negara adidaya. Super power tunggal. Kaya raya. Sumber daya manusia, alam, ilmu, teknologi, dan seninya luar biasa. Walaupun demikian, saya takut, tidak semua harapan tersebut realistis karena budaya liberal AS. Sebuah budaya yang tampaknya bagus, tetapi kalau tidak dikritisi dia akan menjebak. Menjadi bumerang.
Liberalisme memang bukan produk AS saja. Dia produk global. Merasuki semua negara dengan rasukan paling besar di negara maju seperti AS. Liberalisme, kita tahu, sebuah ideologi. Ciri khasnya, antara lain, penomorsatuan kemerdekaan berpikir dan, dalam banyak hal, “pengabaian” nilai tradisional yang dianggap mengekang kebebasan individu dan, melalui kebebasan individu yang terkekang, kebebasan kolektif yang juga dinilai ikut terkunkung.
Bila tidak berhati-hati dalam mengakomodasinya dalam kehidupan berbangsa di AS dan, pada saat yang sama, dalam membina hubungan multilateral/global, ideologi itu, menurut saya, bisa menjebak Joe Biden dalam era kepemimpinannya. Juga para pemimpin AS setelah dia nanti.
Dalam beberapa dekade terakhir, buah liberalisme yang berpotensi menjebak itu telah bermunculan dalam bentuk, misalnya, legalisasi aborsi. Ini harus ditanggapi secara bijak karena legalisasi aborsi di AS dinilai sebagai sesuatu yang baik – Totum pro parte – oleh para politisi dan intelektual top yang menjadi rujukan banyak orang dalam berpikir. Karena mereka panutan, pendapat mereka dianggap baik dan, karena itu, diikuti. Padahal, pendapatnya belum tentu baik. Juga belum tentu benar.
Pada Pilpres 2004, misalnya, Calon Presiden dari Partai Demokrat, Senator John Kerry, seorang Katolik seperti Joe Biden, mengakui dan memperjuangkan hak seorang ibu untuk melakukan aborsi. Akibatnya, dia dikecam oleh beberapa uskup AS dan ditinggalkan oleh pemilih Katolik yang masuk dalam kategori masyarakat “pro-life”: Abortion No. Titik. Apapun alasannya. Tidak ada pilihan lain. Dalam Pilpres itu, kita tahu, John Kerry kalah; George W. Bush Jr. menang. Kata orang, saat itu, Bush menang, antara lain, karena dukungan kaum “pro-life”itu. Namun, itu bukan berarti aborsi menjadi ilegal.
Legalisasi aborsi tetap diperjuangkan dan dipertahankan oleh masyarakat AS yang disebut kelompok “pro-choice”. Menurut kelompok ini, aborsi hak seorang ibu untuk melakukannya atau menolaknya. Orang lain tidak boleh ikut campur.
Termasuk dalam kelompok “pro-choice” itu adalah kaum Katolik progresif dalam tubuh Partai Demokrat. Menjelang Pilpres 2008, mereka berusaha meyakinkan para uskup se-AS bahwa ajaran Katolik bukan soal pelarangan aborsi saja, tetapi juga soal perhatian terhadap kaum yang lemah yang terpinggirkan. Karena memperjuangkan nasib orang seperti itu, Capres dan Cawapress Partai Demokrat, masing-masing Barrack H. Obama dan Joe Biden waktu itu, kata kaum Katolik progresif itu, orang Katolik perlu mendukung mereka. Mereka tidak boleh diabaikan “hanya” karena mereka mendukung aborsi.
Lobi kaum Katolik progresif itu efektif. Pada tahun 2006, misalnya, Konferensi Waligereja AS menyatakan bahwa orang Katolik boleh mendukung Capres yang memperjuangkan hak untuk melakukan aborsi. Namun alasannya bukan karena dia mendukung aborsi, tetapi karena dia memperjuangkan ajaran Katolik lainnya yang berterima secara universal, seperti program kerja yang berpihak kepada orang miskin. Walaupun demikian, orang Katolik konservatif mengabaikan seruan itu. Bagi mereka, aborsi berseberangan dengan ajaran Katolik dan, karena itu, harus terus dilawan.
Itu sebabnya mereka tidak mendukung Senator Joe Biden sebagai Calon Wakil Presiden Barrack H. Obama pada Pilpres 2008 itu. Waktu itu, penolakan terhadap Joe Biden semakin kuat setelah Uskup Delaware melarangnya menerima komuni kudus karena dia mendukung aborsi – Moga-moga sekarang larangan itu sudah dicabut.
Hal yang sama juga menimpah Nancy Pelosi, Ketua DPR AS. Uskup se-AS mengecamnya karena menentang secara publik ajaran Gereja Katolik tentang aborsi. Kecaman para uskup itu, bagi orang Katolik konservatif, merupakan sebuah dukungan moral. Mereka semakin yakin bahwa mereka benar.
Dalam konteks Pilpres, penolakan terhadap kedua tokoh Katolik itu cukup mengkhawatirkan. Dengan jumlah yang tidak sedikit, yaitu seperempat dari elektorat nasional dan di negara bagian seperti Michigan, Missiouri, Ohio, dan Pennsylvania mencapai jumlah sekitar 30 persen, orang Katolik, tampaknya, tidak bisa diabaikan. Kalau mau menang dalam Pilpres AS, termasuk pada Pilpres 2008 itu, suara mereka harus didengar.
Pada Pilpres 2008 itu, kita tahu, Barrack H. Obama dan Joe Biden menang. Namun menjelang Pilpres tersebut, kubu Demokrat cukup khawatir. Apalagi pada saat itu, kedua calon presiden, yaitu Barrack H. Obama dan John McCain, memiliki kemampuan retorika yang brilian. Kemampuan keduanya hampir sama. Visi mereka juga sama, yaitu membawa perubahan. Karena itu, persaingan merekapun beralih ke isu yang relatif “kecil,” tetapi menentukan, yaitu persoalan iman di negara yang liberal itu.
Partai Republik yang, secara umum, bersifat konservatif menggunakan isu tersebut secara maksimal untuk kepentingan politiknya. Capresnya, Senator John McCain, mengadakan pertemuan dengan Kardinal Justin Rigali dari Philadelphia dan Uskup Agung Charles J. Chaput dari Denver – keduanya pengecam keras Nancy Pelosi dan Joe Biden – langsung setelah Konvensi Partai Demokrat. Menurut tim sukses Capres Republik, itu sebuah pertemuan biasa. Namun bagi orang Katolik konservatif, itu pratanda bahwa Gereja AS memihak Partai Republik dalam Pilpres pada tanggal 4 November 2008 itu.
Gambaran singkat di atas menunjukkan bahwa liberalisme, dalam konteks legalisasi aborsi, ditolak oleh masyarakart AS yang konservatif. Kaum konservatif yang sama itu juga menolak berbagai hasil pemikiran liberal lainnya yang sudah diterapkan seperti perkawinan antarsesama jenis (same sex marriages), kloning manusia (human cloning), eutanasia, dan penggunaan embryonic stem-cell untuk kepentingan apapun. Bagi mereka, semua itu ilegal. Mereka menolaknya dan, karena itu, tidak mendukung siapapun yang memperjuangkannya.
Ini, pada gilirannya, menimbulkan oposisi yang kuat dari kaum liberal. Mereka menuduh kaum konservatif menggunakan isu agama sebagai tameng rasisme. Tuduhan itu, memang, seolah-olah mendapat pembenaran ketika salah seorang informan yang diwawancarai The New York Times (17 September 2008, hal. A20) mengatakan bahwa dia cuma tidak ingin White House menjadi Black House. Jadi, persoalan utamanya bukan agama, tetapi rasisme.
Pada titik ini tampak bahwa liberalisme itu bak pedang bermata dua. Di satu sisi, dia menghasilkan kebaikan seperti demokrasi, persamaan hak, dan keadilan bagi semua, tetapi pada saat yang sama dia menjadi bencana ketika, misalnya, aborsi dilegalkan. Ketika yang “gelap” itu dominan, jutaan “orang” menanggung akibatnya: tak sempat dilahirkan. Sebuah jumlah yang begitu besar sehingga para uskup AS menilainya sebagai sebuah tragedi nasional.
Sebagai seorang pemimpin bagi semua seperti yang dikatakannya pada pidato pelantikannya pada tanggal 20 Januar, 2021, Joe Biden, saya kira, perlu mencari solusi untuk menyelamatkan dan membela bukan hanya HAM yang sudah lahir, tetapi juga yang belum lahir. Solusi itu juga untuk menilai secara jernih apakah buah pemikiran liberalisme seperti same sex marriage dan eutanasia yang saya sebut di atas benar secara moral universal. Berterima dari jaman ke jaman. Dari generasi ke generasi.
Dalam konteks AS dan dunia dengan dominasi AS yang sangat kuat saat ini, Presiden Biden, saya kira, harus bermain cantik untuk mampu melihat buah pemikiran liberalisme secara benar dan, kemudian, mengambil kebijakan yang tepat untuk menjamin bahwa semua diuntungkan. Tidak ada yang dirugikan. Jika yang terjadi sebaliknya, yaitu yang satu untung, yang lainnya buntung, di situ liberalisme menjebak. Mengira sesuatu baik, lalu mempraktikkannya, padahal salah dan merusak.
Sebagai seseorang dengan pengalaman yang begitu luas dalam dunia politik AS dan dengan dasar iman Katoliknya yang tertanam sejak kecil, Joe Biden, saya yakin, bisa melakukan banyak hal yang menguntungkan semua: di AS atau di manapun karena pengaruh AS.
Itu sekaligus sebuah tugas mulia untuk memahami liberalisme sesuai esensinya, yaitu pengarusutamaan rasio untuk kebaikan bagi semua. Karena itu, Joe Biden atau siapapun yang menjadi decision makers yang kebijakannya mempengaruhi bukan hanya negaranya, tetapi juga dunia, dari waktu ke waktu, lintas generasi, mungkin, perlu diam sejenak untuk menemukan dirinya sendiri dalam dunia yang semakin liberal ini. Tentang ini, Susan Howe, seorang pujangga AS, berkata, “silences are where you find yourself” (dalam Kathryn van Spanckeren. 1994. Outline of American Literature: The United States Department of State, Washington, hlm. 123). “Silences” itu, saya kira, juga tempat kita menemukan esensi liberalisme yang, sejatinya, tidak merugikan siapapun, apapun karena rasio digunakan secara benar.*