Pemberantasan Mafia Tanah Di Labuan Bajo Harus Superpremium

media wartanusantara.id– Forum Anti Mafia Tanah (Foramata) mendesak Polres Manggarai Barat untuk segera meningkatkan status penanganan pencaplokan tanah milik Balai Konservasi Sumber daya Alam (BKSDA) Wae Wu’ul di Desa Macang Tanggar, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, NTT.

“Kami mengharapkan dan mendesak agar Polres Manggarai Barat dapat segera meningkatkan status penanganan kasus ini ke tingkat penyidikan. Tentu sudah jelas siapa saja yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana untuk ditetapkan sebagai tersangka. Ada banyak pihak yang terlibat dalam perkara itu. Bukan hanya sebatas pelaku penjual tanah yang mencaplok tanah milik KSDA itu, tetapi juga ada keterlibatan tu’a golo/adat, kepala desa, calo, dan oknum-oknum terkait lainnya. Kejahatan seperti ini tidak dilakukan oleh pelaku tunggal. Tetapi umumnya berjemaah.

Pembuatan alas hak selalu melibatkan tu’a golo/tu’a adat. Dokumen lainnya, kepala desa. Semua pihak itu harus dimintai tanggung jawab hukum,” kata Vinsen Supriadi, Ketua Foramata di Labuan Bajo.

Sebagaimana diberitakan oleh berbagai media sebelumnya, hingga saat ini, Polres Mabar sudah memeriksa 19 saksi dalam kasus perambahan hutan milik BKSDA di Wae Wu’ul. Para saksi ini mulai dari Kepala Desa Macang Tanggar, Tu’a Golo Lemes, penjual, pembeli, penghubung atau calo, Mantan Camat Komodo, 2 orang pegawai BPN Mabar, 2 orang pegawai dari BKSDA, dan beberapa saksi lainnya.

Menurut Vinsen, penegakan hukum oleh Polres Manggarai Barat dalam  kasus ini sangat penting, karena:

Pertama, pada hari Selasa (24/5/2022) Polri memberikan atensi untuk memberantas mafia tanah di Tanah Air sebagaimana dinyatakan Kepala Biro Penerangan (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan di Mabes Polri, Selasa (24/5/2022). Kasus ini adalah salah satu model praktik mafia tanah di Labuan Bajo. Dengan tuntasnya penanganan kasus ini, Polres Manggarai Barat menunjukkan dan membuktikan kepada publik aktualisasi dari besarnya atensi Polri dalam memberantas mafia tanah di Labuan Bajo. Karena itu,penting sekali semua pelaku yang terlibat dalam pencaplokan tanah milik BKSDA Wae Wu’ul itu ditetapkan jadi tersangka untuk dimintai pertanggung jawaban menurut hukum. Para pelakunya harus segera ditahan agar tidak melakukan kejahatan yang sama.

Kedua, tanah yang dicaplok oleh para pelaku itu adalah tanah KSDA Wae Wu’ul yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kawasan konservasi Taman Nasional Komodo yang sangat penting dan menjadi perhatian dunia.

Ketiga, jika tanah milik Balai KSDA saja berani dicaplok oleh para pelaku, apalagi tanah warga masyarakat, termasuk tanah hak ulayat/adat dari masyarakat adat di Manggarai Barat. Modus praktik mafia tanah yang mencaplok tanah BKSDA itu kurang lebih sama dengan yang dilakukan terhadap tanah adat/ulayat milik masyarakat adat di Manggarai Barat. Para pelaku diam-diam menjual tanah adat/ulayat, lalu tidak mengakui tanah itu sebagai tanah adat/ulayat suatu masyarakat adat, dan menyeret masyarakat adat lainnya untuk menjustifikasi perbuatan jahat parapelaku.

Keempat, ulah para mafia tanah di Labuan Bajo dan sekitarnya ini tidak hanya meresahkan masyarakat, merugikan warga masyarakat, tidak kondusif bagi investasi, tetapi juga potensial menimbulkan konflik horisontal, khususnya antara warga masyarakat adat yang satu berhadapan dengan yang lainnya.

Kelima, Labuan Bajo sebagai destinasi wisata superpremium harus bebas dari praktik-praktik mafia tanah.

Kelima alasan ini, kata Vinsen, menuntut institusi penegak hukum, termasuk Polres Manggarai Barat, Satgas Anti Mafia Tanah di Labuan Bajo, untuk benar-benar serius memberantas mafia tanah di Labuan Bajo.

“Pemberantasanmafia tanah di Labuan Bajo itu tidak bisa biasa-biasa saja, tetapi harus juga superpremium,” tegas Vinsen. (YB).