Catatan Kelam Kuliah di Bali, Aku Menjadi Pelampiasan Nafsu Teman Lelakiku

Penulis: Remigius Nahal

Jam sudah menunjuk Pukul 17 lewat 24 menit. Sore seperti sedang menghantar senjanya menuju malam. Sayup-sayup lampu di pelataran rumah warga mulai gemerlap menghiasi jalan menuju kampung kami. Gaungan musik terus berdendang. Para tamu undangan sudah mulai ramai berdatangan. Terlihat di dalam kemah, ada beberapa orang sedang bergoyang di dekat meja opreter. Mereka sudah sempoyongan dimabuk sopi, yang semenjak dari siang tadi ikut minum dengan para tamu undangan yang datang mengikuti pestaku.

Hari ini adalah pesta sekolahku. Tradisi orang Manggarai, jika hendak melanjutkan kuliah maka, diwajibkan untuk menyelenggarakan Pesta. Acara ini juga dianggap sebagai balasan dari semua keikutsertaan orang tuaku dalam setiap pesta sekolah yang ada di kampung kami maupun di kampung tetangga.

Oh ya, namaku Elin. Aku anak kedua dari pasangan Mama Tina dan Papa Sius. Kakaku yang sulung namanya Agus. Ia sudah lima tahun merantau di Bali. Ia merantau sejak aku duduk di kelas dua SMP. Saat tamat SMA ini, aku disuruh untuk melanjutkan kuliah di Bali. Orang tuaku beralasan, agar lebih dekat dengan kakaku Agus. Aku pun menuruti keinginan orangtuaku tersebut. Apalagi, Agus kakakku sudah mengatakan, segala urusanku jika aku kuliah di Bali, dirinyalah yang mengurus semuanya.

Pesta sekolahku sudah usai. Hasilnya lumayan banyak. Sudah sangat cukup untuk bekalku melanjutkan kuliah di Bali. Orangtuaku bilang, jika uang hasil pestaku itu cukup untuk melunasi uang muka kuliahku. Sisanya juga bisa digunakan untuk registrasi jika kelak masuk semester dua.

Tepat tanggal 27 Juni adalah hari persiapan untuk berangkat ke Bali. Malamnya terlebih dahulu aku harus mengikuti acara adat yakni upacara Teing Hang (Persembahan dan mohon doa restu arwah nenek moyang).Semua keluarga besar kami berkumpul untuk mengikuti upacara ini. Malam itu banyak nasehat dan wejangan yang disampaikan kepadaku. Intinya, agar aku benar-benar mengikuti semuanya nasehat itu. Paling terpenting juga ialah tidak boleh mengecewakan orang tua. Dan bisa menjaga diri. Apalagi aku sebagai anak perempuan. Itu yang menjadi harapan mereka.

Semuanya telah dipersiapakan. Pagi tanggal 28, aku berangkat dari Ruteng. Kampungku berada di Sebelah utara kota Ruteng. Jaraknya kurang lebih 15 menit jika mengendarai dengan ojek, tetapi jika meggunakan bemo, hampir setengah jam.

Yang mengantarku menuju Labuan Bajo adalah ayahku sendiri. Dia hanya sampai di pelabuhan mengantarku, karena kalau di dalam kapal aku bisa gabung dengan teman yang lainnya untuk sama-sama berangkat ke Bali.

Berangkat dari rumah, kami menggunakan bemo, turun di terminal kota. Selanjutnya kami menggunakan mobil travel yang sudah dari tadi menunggu para penumpang yang hendak pergi ke Labuan Bajo. Mobil travel yang kami tumpangi lumayan padat. Banyak juga penumpang yang sama-sama sepertiku akan melanjutkan kuliah di luar daerah. Dari percakapan yang aku dengar saat di dalam mobil ini, ada yang hendak ke Makassar ada juga yang ke Jawa, dan ada juga yang mau ke Bali.

Aku tidak terlalu semangat waktu itu. Air mataku terus berlinang ketika satu demi satu kampung di sepanjang jalan Trans Flores kami lalui. Ditambah pula dengan kebiasaanku yang cepat merasa mabuk jika mengandarai mobil sepertinya sudah lengkap, tidak ada pilihan lain selain aku memilih tidur di dalam mobil.

Memasuki daerah Cancar, aku sudah mulai terlelap. Mobil terus melaju dengan alunan musik yang diputar sang supir tidak terasa ternyata kami sudah tiba di Lembor. Aku kaget ketika ayah membangunkanku untuk singgah makan siang di sebuah warung di Lembor. Akhirnya kami makan siang di tempat itu.

Aku masih kurang terlalu semangat. Ibuku di rumah terus saja menanyakan kami udah sampai dimana melalui telpon. Kami memyempatkan diri bertelponan di warung makan itu. Ibu sambil menangis, mengingatkanku. Apalagi adikku yang baru kelas tiga SD ikut berbicara juga denganku waktu itu. Aku bertambah sedih, mendengar suara mereka. Hampir 25 menit kami di warung tersebut. Setelah sang supir melihat kami semua sudah selesai makan, dia buruan masuk ke dalam mobil dan membunyikan klakson tanda semua penumpang harus masuk ke dalam mobil untuk melanjutkan perjalanan kami menuju Labuan Bajo.

Masih di dalam mobil, ayahku menyuruh aku telpon kakaku yang ada di Bali untuk beri kabar bahwa kami sudah di Labuan Bajo. Sebentar sore kapal Tilong Kabila akan sandar, dan setelah menurunkan penumpang dari Makassar akan langsung berlayar menuju Bali. Kakaku menjawab, dirinya akan menjemput aku di Pelabuhan Benoa, Bali.

Dalam perjalanan menuju Bali aku merasa tidak sendirian. Banyak orang yang menjadi temanku sepanjang perjalanan di atas Tilong Kabila. Kebanyakan dari mereka laki-laki dan beberapa perempuan.

Rasa rinduku di kampung halaman sepertinya perlahan hilang oleh canda tawa dari teman-temanku itu. Aku merasakan Kapal Tilong Kabila melaju begitu cepat. Sesekali diriku menengok keluar dan berjalan keliling di dek luar kapal tersebut untuk melihat hamparan laut yang luas dan kota-kota yang kami lalui. Saling tukar nomor handphne di antara kami pun terjadi.

Saat itu aku ditembak oleh seorang laki-laki. Yach, mungkin saat itu dirinya terpesona dengan diriku. Aku juga tidak tahu. Tetapi saat itu, aku tidak menerimananya, alasanku sudah punya pacar. Dan pacarku ada di Bali. Pada hal aku bohong.

Alasanku waktu itu sederhana, aku tidak mau merepotkan diri dulu dengan yang namanya pacaran. Fokusku saat itu hanya satu yakni pergi kuliah ke Bali. Memang sejujurnya jika dilihat, laki-laki yang menyatakan cintanya kepadaku sepertinya tulus. Tetapi aku harus mengecewakannya, aku takut jika semua rencanaku buyar gara-gara berpacaran. Itulah yang ada dalam pikiranku saat itu. Satu hari satu malam kami di atas laut bersama Kapal Tilong Kabila.

Maskapai pelayaran sudah mulai mengumumkan jika Kapal Tilong Kabila 30 Menit lagi akan bersandar di Pelabuhan Benoa, Bali. Kami semua mulai mempersiapkan segala barang bawaan kami. Agus kakaku kembali menelpon saya untuk menanyakan berapa jam lagi kami akan sandar, agar dirinya bersiap-siap untuk menjemput. Aku menjawabnya 20 menit lagi kapal kami akan sandar. Kakaku saat itu juga langsung menuju Pelabuhan Benoa untuk menjemputku.

Akhirnya kami tiba juga di Bali. Di Pulau Seribu Pura, tepatnya di Denpasar, kota yang akan menjadi tempat kedua melukis kisahku ini. Agus kakaku langsung mengantarku ke tempat tinggalnya di jalan Palawa, Denpasar. Sepanjang perjalan dari pelabuhan, aku melihat Kota Denpasar, seperti sebuah kota yang banyak Dewa-Dewinya karena arca dan patung yang banyak menghiasi rumah penduduk. Harum dupa seakan menyambut kedatangku.

Sudah dua minggu aku berada di Pulau Dewata. Segala urusanku di Kampus, kakaku yang mengaturnya. Mulai pergi mendaftar, segala perlengkapan pendaftaran, dan uang registrasi sudah beres. Diriku hanya siap untuk mengikuti Ospek dan perkuliahan selanjutnya.

Aku kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Denpasar, mengambil jurusan ekonomi. Di kelasku ternyata banyak juga teman-teman dari Kabupaten lain dari Flores dan Timor, begitu juga dari Sumba. Kami yang dari Manggarai ada tiga orang. Temanku yang satunya dari Manggarai Timur, sementara satunya lagi dari Manggarai Barat dan akulah yang berasal dari Manggarai Tengah.

Waktu terus berjalan, di Bali aku tinggal bersama dengan kakaku Agus. Meski hanya beberapa bulan saja. Saat tinggal dengan kakaku itu, aku tidak ada kekurangan apa pun. Segala keperluanku dialah yang melengkapinya. Apalagi, uang pestaku dari kampung masih sisa, bisa digunakan untuk uang registrasiku di semester dua.

Malang menimpa kakaku Agus. Ia terkenena PHK dari kantor tempatnya bekerja gara-gara sang bos tersandung kasus Narkoba sehingga tempat itu ditutup sampai dengan batas waktu yang tidak ditentukan.

Tidak ada pilihan lain dari dia, selain pulang kampung. Aku pun pasrah menghadapi kenyataan pahit itu. Aku terpaksa harus tinggal sendirian di Bali. Saat pulang kakakku menitip pesan, agar tidak usah kuawatir, karena meskipun dirinya berada di kampung halaman, ia tetap memperhatikanku, lebih khusus soal kuliahku dan segala keperluanku di sini.

Sudah sebulan kakakku di kampung, tidak ada lagi yang mengawasiku di sini. Aku sepertinya terlena dengan kebebasan ini. Apalagi aku melihat kebanyakan teman-temanku sepertinya merasa biasa saja ketika begadang sampai tengah malam, pergi keluyuran berpesta di diskotik.

Bahkan, ada juga dari teman wanitaku terlihat minum alkhol dan merokok. Lebihnya lagi, ada juga yang berani mentatokan diri. Berkumpul untuk mabuk-mabukan dan tidur bareng dengan cowok dalam satu kamar kos sudah tidak menjadi tabu lagi bagi kami. Di antara teman-temanku itu, akulah yang boleh dikatakan masih perawan. Aku terpaksa terjerumus ke dalam kehidupan seperti teman-temanku ini karena tidak ada pilihan lain. Apa lagi dari mereka banyak kenalan teman-teman laki-laki yang selalu diajak traktir dan pergi jalan-jalan.

Akhirnya aku terperangkap dengan kebebasan ini. Hingga suatu waktu keperawananku direnggut oleh teman laki-lakiku sendiri yang saat itu mengajak aku jalan-jalan di malam itu.

Ingatkah? Ketika Lidah Kita Pernah Bersatu, Serasa Dunia ini Gimana Gitu?

Dalam gerombolan kami, Nober adalah laki-laki gaul untuk tingkatan anak Manggarai di Bali.

Apalagi di mata para cewek yang masih labil dan memaksa diri hits serta menganggap utas di kalangan sesama perantau di pulau Dewata Bali, Nober tidak bisa dikorek. Aku sampai terkelepek-kelepek olehnya, sebab, Nober semakin melejit dengan gaya bahasanya yang sok utas pula, meskipun dipaksakan. Tapi itulah Nober dan aku terperangkap olehnya.

Kini aku menginjakan kaki di pertengahan semester dua.

Saat itu aku nampak anggun ketika mengenakan celana umpan. Begitulah bisikan temanku saat bersolek di depan cermin. Dan terlihat montok jika dipandang dalam tempo yang agak sedikit lama. Jujur, aku orangnya agak sok jual mahal jika berkenalan dengan kalangan yang gaulnya di bawah standar.

Tipeku lebih suka sama cowok yang gaul dan utas, misalkan bertato dan beranting. Aku memang pernah mencurhatkan hal ini kepada temanku waktu malam Paskah kemarin. Dan mereka saat itu memaksaku untuk menerima cintanya Nober, yang sudah lama ia pendam kepadaku. Tapi aku selalu tolak.

Singkat cerita, seperti kisah dalam film Indosiar, aku dan Nober pacaran.

Tipu daya Nober yang dibaluti oleh gombalannya yang aduh hai, membuat aku tak luput dari perangkap kata-kata yang diciptakannya.

Suatu hari, kami pun bertemu. Dengan segala cara yang dilakukan oleh Nober saat itu, ia harus bisa mendapatkan keperawananku. Harus bisa. Itulah yang diingkan Nober.

Saat pertama kali berkencan kami sama-sama untuk mengikuti malam mingguan di Lapangan Puputan Badung.

Di sana kami saling bercengkarama layaknya sepasang kekasih yang sedang dilanda mabuk asmara.

Aku sesekali menyandarkan diri di bahu Nober. Mimik manja kulakonkan ketika Nober mencoba bercanda gurau kepadaku.

Malam semakin larut. Hangatnya kasmaran yang kami adegankan hampir mencapai puncak.

Aku terlena dengan segala ucapan Nober. Hingga pada akhirnya aku merelakan semua permintaan Nober pada malam itu.

Berpelukan diantara kami sudah menjadi lumrah. Dan hal untuk lebih meluapkan cinta yang lebih dalam yaitu berciuman seakan tak canggung lagi kami peragakan.

Malam itu, menjadi malam yang sangat beruntung bagi Nober. Sebab, keinginannya untuk mendapatkan mahkota kegadisanku seakan mulai mencapai klimaks.

Tingkatan hasrat Nober semakin menjadi-jadi, manakala ajakannya kepadaku untuk nginap di Kosnya malam itu tidak ditolak olehku.

Kami berdua akhirnya terlarut dalam dekapan suka sama suka.

Namun, malang menimpaku. Belum seumur jagung hubungan kami, Nober ternyata menduakan aku.

Di akun FB-nya Nober ada komentar seorang cewek. Ternyata cewek itu adalah salah satu dari sekian banyak pacarnya Nober yang pernah ia lakukan hal serupa seperti kepadaku.

Menyesal kemudian tiada berguna. Hanya berlinang air mata yang ada. Setelah mengalami itu, seakan membuat diriku semakin liar.

Aku tidak lagi ingat semuanya nasehat yang pernah diberikan orang tua waktu datang pertama kali di Bali. Aku sudah mengecewakan mereka karena tidak bisa menjaga diri. Apalagi aku sebagai anak perempuan, sebab itulah yang menjadi harapan mereka waktu aku datang kesini.

Semuanya itu seakan sirna dalam benakku. Aku bahkan lebih parah dari teman-temanku yang pertama kali aku kenal itu. Hampir beberapa kali aku berhubungan badan dengan laki-laki lain. Dengan sopir taksi pernah, dengan karyawan atau pekerja dari Manggarai juga pernah. Pokoknya semua laki-laki yang mengajakku jalan-jalan atau yang dikasih traktir makan hampir tidak luput dari perbuatan tak senonoh itu. Itu lah kisah masa kelamku di Bali. Mungkin sampai aku tamat dan nanti saat sudah bersuami aku bisa pensiun dan tobat dari pergaulan bebas ini. Semoga saja. Oh, ya, hampir lupa, kini aku sudah bertato juga. Tatoku berada di bawah pusar. Gambarnya lumayan bagus. Nanti aku tunjukan, jika kelak pembaca yang budiman ada yang mengajak aku jalan-jalan.

NB: Cerita ini hanyalah Fiksi Belaka. Apabila ada kesamaan Nama dan tempat itu hanyalah kebetulan.