“Saya sedih sekali sebab saya yang biasanya sebagai ‘Tukang omong’, harus menjadi buruh kasar pada proyek pembangunan Sarana dan prasarana (Sarpras) di Batu Cermin” (Agus Puka).
Pramuwisata, tour guide sebetulnya salah satu profesi yang menjanjikan. Mereka yang bekerja sebagai ‘pemandu wisata’, umumnya hidup serba berkecukupan. Pekerjaan ini kian ‘digemari’ seiring ramainya aktivitas industri pariwisata saat ini. Apalagi Labuan Bajo sudah ditetapkan sebagai salah satu destinasi ‘super prioritas’ oleh pemerintah pusat (Pempus).
Kisah kesuksesan para pramuwisata dalam memperoleh keuntungan ekonomi, bukan isapan jempol semata. Sudah tidak terhitung mereka yang bergelut dengan aktivitas itu hidup bergelimang harta. Hanya berbekalkan keterampilan berbicara, rupiah mengalir lancar dalam saku baju.
Kisah sukses semacam itulah yang dialami oleh Agus Puka. Sudah 31 tahun pria kelahiran Wulanggitang, Flores Timur ini menggeluti pekerjaan itu.
Baginya, profesi sebagai pramuwisata adalah panggilan hidup. Ia bangga. Asap dapur terus mengepul. Kebutuhan rumah tangga terjamin. Begitu juga biaya pendidikan anak. Semuanya beres.
“Asyik ya jadi seorang guide. Modal bicara saja kita bisa dapat uang,” katanya.
Selain itu, dari pekerjaan sebagai Tour Guide itu, Agus bisa membantu membiayai perkuliahan dari kakak dan adik-adiknya.
“Saya bersyukur dan bangga karena dari pekerjaan itu, saya bisa membantu sedikit biaya pendidikan dari kakak dan adik-adik hingga ke jenjang sarjana”, kenang Agus penuh haru.
Namun, cerita sukses itu seakan tersendat ketika dunia dihantam badai pandemi covid-19. Pariwisata menjadi salah satu sektor yang terkena dampak. Pelbagai kegiataan kepariwisataan berhenti total.
Perusahaan yang menawarkan jasa dan produk wisata banyak yang kolaps. Kenyataan miris itu tentu berpengaruh bagi penghasilan dan kondisi ekonomi para pramuwisata.
Tegasnya, situasi serba tak menentu dan berubah. Kabar wabah Covid-19 merangsek masuk Indonesia di akhir 2019 silam.
Awalnya Agus tidak panik. Sebab, ia berpikir, Covid masih nun jauh di sana. Namun, keadaan justru jauh dari harapan. Maret 2020 wabah corona mulai tak terbendung. Korban jiwa dimana-mana. Banyak wisatawan batal ke Labuan Bajo. Agus mencoba bertahan. Sayang, dompet kian menipis. Ia banting setir.
Semangatnya nyaris sirna. Beruntung ada kawan. Ia dapat tawaran untuk bekerja di salah satu proyek bangunan. Agus masih ada harapan. Tidak ada pilihan baginya. Walau sulit, tetapi harus memulainya. Ini bukan lagi soal mulut, tetapi pertaruhan otot.
“Saat itu saya sangat sedih. Saya mendapat upah Rp.90.000 per hari. Saya sungguh melewati hari-hari yang sulit,” kisah Agus sembari menteskan air mata.
Kesedihan Agus semakin bertambah ketika mengingat kembali masa jayanya sebagai seorang tour guide jempolan. Pendapatan seharinya jauh melampaui apa yang didapatnya sebagai seorang buruh kasar.
“Jasa guide (guide fee) yang saya terima per hari, minimal 350 ribu. Kadang saya mendapat jutaan per hari,” kenang Agus.
Meski demikian, Agus tetap bersyukur sebab Tuhan masih memberikan pekerjaan baginya. Jika sebelumnya, Agus terbiasa memegang uang banyak, kali ini ia mesti bersahabat dengan situasi dan menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut.
Suka tidak suka, Agus perlahan mulai terbiasa dengan pekerjaan itu. Ia habiskan waktu 27 hari lamanya untuk bekerja sebagai “kuli bagunan” itu.
Bila tidak, putranya yang tengah mengenyam pendidikan tinggi terancam gagal. Begitu pula kehidupan rumah tangganya. Pasti akan sulit. Memang dengan gaji sebesar itu, sebenarnya tidak cukup untuk menghidupi rumah tangganya.
Tetapi, puji Tuhan semuanya berjalan normal. Hasil keringat sebagai buruh kasar dikirim ke istrinya di Mataram dan sebagiannya dipakai untuk memenuhi kebutuhannya di Labuan Bajo.
Sayang, bekerja sebagai “buruh kasar” itu ada batas waktunya. Kontrak kerjanya pun selesai. Agus kembali ke titik nol. Ia kembali menjadi penganggur.
Dalam situasi terhimpit seperti ini, Agus kembali putar otak. Upah yang ia dapat sebagian dikirim untuk sang istri dan anak yang sedang berada di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Di Mataram Agus memang punya rumah. Tetapi selama pandemi ia belum bisa pulang. Uangnya tak cukup.
“Kangen dengan istri dan anak. Tapi saya harus kerja dulu biar bisa pulang,” tuturnya.
Sebagian uang hasil kerja sebagai buruh bangunan sebanyak 200 ribu, atas izin istrinya, Agus bertekat menjadi seorang Penjual Kopi. Ketertarikan Agus bermula dari pujian sebagian teman-temannya terhadap kopi yang disuguhkannya ketika mereka bertandang ke rumahnya.
“Kopimu enak,” ungkap Agus membeberkan pujian para sahabatnya.
Pujian itu memacu semangat Agus untuk menekuni pekerjaan sebagai Penjual Kopi Tuk (Tumbuk). Sebab, demikian Agus ‘kopi racikan saya ternyata enak dan nikmat di mata pelanggan.
Tekat Agus sudah bulat. Selain tidak ada pilihan alternatif, ternyata pekerjaan baru itu ternyata lebih menjanjikan. Untuk itu, Agus memulai usaha menjadi penjual kopi keliling yang ia namai Kopi Tuk (kopi tumbuk). Ia sisihkan sebagian pengasilannya untuk usahanya yang baru itu.
Keranjang sederhana untuk menyimpan kopi dan air termos dirakit secara manual. Satu unit motor revo miliknya dimodifikasi dengan peralatan seadanya. Biar aman saat menjajakan kopi.
Si penjual Kopi Tuk ini menjajakan dagangannya untuk pertama kali kepada mas-mas Jawa yang sedang bekerja pada sebuah bangunan di Wae Kesambi.
“Ketika saya tawarkan apakah mereka mau minum kopi, ternyata mereka mau. Termos yang saya bawa hanya berisi 7 gelas air. Padahal mereka berjumlah 9 orang. Saya harus pulang untuk masak air lagi dan melanjutkan penjualan,” ungkap Agus bangga.
Agus menuturkan bahwa dalam satu hari ia meraup pendapatan minimal 100 ribu. Pernah satu kali ia mendapat untung sebanyak 600 ribu.
“Terus terang, saya menangis saat menghitung uang sebanyak itu. Untuk pertama kalinya, setelah Covid-19 saya bisa dapat uang 600 ribu dalam sehari,” kata Agus berkaca-kaca.
Sebelum covid-19, penghasilan seperti itu sudah biasa baginya dan bahkan lebih dari itu.
Agus sama sekali tidak minder apalagi gengsi dengan pekerjaan semacam itu. Baginya, pekerjaan sebagai Penjual Kopi Tuk keliling itu, sangat bermartabat dan halal. “Saya melihat bahwa kebanyakan orang kita (Flores) kurang percaya diri dengan pekerjaan seperti itu,” tegas Agus.
Hingga detik ini, pramuwisata profesional ini sangat menikmati pekerjaannya sebagai Penjual Kopi keliling. Penghasilan yang ia dapat saat ini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya termasuk membiayai pendidikan anaknya.
Menurut Agus, dirinya sering mendapat apresiasi dari para penjual bakso, salome, gorengan dan mie goreng.
“Ternyata orang Flores juga bisa menjadi penjual yang sealiran dengan mereka,” beber Agus mengutip pembicaraan dari rekan-rekan penjualnya itu.
Badai Covid-19 tidak membuat Agus berdiam diri. Sebaliknya, pandemi itu memaksa dirinya untuk bertransformasi, dari tukang omong menjadi buruh kasar dan kini penjual Kopi. Semuanya itu dilakoninya agar diri dan keluargannya tetap survive ditengah gempuran badai pandemi global covid-19. ( YB).