oleh

Ilalang Terkulai, Sebuah Cerpen

(Gambar: Ilustrasi)

Oleh: Pateng Nara

Aku ini bak ilalang terkulai, tetapi tak kunjung Tuhan patahkan; aku ini bak sumbu berkedip-kedip, tetapi tak kunjung Dia padamkan. Akupun tak habis pikir mengapa Dia terus saja membiarkan aku seperti ini. Padahal, banyak orang lain yang cara hidupnya seperti aku ini dan, bahkan, yang kejahatannya tidak separah seperti yang aku lakukan, sudah Dia patahkan dan padamkan.

Aku, tentu, tidak sedang menuduh Dia di balik penangkapan berbagai kriminal yang terjadi selama ini dari Sabang sampai Merauke. Aku hanya yakin bahwa semua yang terjadi dalam hidup ini tidak mungkin terjadi tanpa campur tangan Dia. Begitu juga yang terjadi denganku dan dengan sahabat karibku, Wae Sapo.
Sebulan yang lalu, Wae Sapo, seorang pejabat di kota kami, Kota Pukang, tertangkap tangan KPK bersama seorang pengusaha: mereka teringkus di ruang VIP sebuah rumah makan di dekat kantornya. Saat itu, dalam tas Wae Sapo ada satu miliar rupiah yang diduga diberikan oleh pengusaha yang saat itu bersamanya. Sebelum kejadian itu, semua tahu, memang, Wae Sapo korup. Banyak proyek pembangunan yang ditenderkannya, tetapi pemenangnya sudah diketahuinya sendiri jauh sebelum tender proyek dijalankan. Yang menang, kontraktor pemberi fee pelicin terbanyak. Biasanya sekitar 10% dari nilai proyek. Atau pemberi tanah berbidang-bidang.

Itu terjadi selama bertahun-tahun sejak dia menjadi orang penting di kantornya. Juga di Kota Pukang. Bisa dimengerti mengapa dia menjadi mahakaya untuk ukuran kota Pukang, salah satu kota termiskin di Indonesia Timur.
Betumpuk-tumpuknya harta Wae Sapo terbukti dari yang tersita seperti yang dilaporkan KPK: lima mobil mewah; satu rumah bak istana di Jakarta; tiga rumah besar dengan pekarangan luas di Kota Pukang; dan, beberapa bidang tanah yang juga luas di kampungnya di Flores. Menurut KPK, Wae Sapo menggunakan uang hasil korupsinya secara beragam, antara lain, untuk gereja dalam jumlah yang relatif besar.
Tak mengherankan bila dia selalu mendapat penghormatan luar biasa dari pejabat gereja. Pada setiap kegiatan gereja yang diikutinya, dia selalu mendapat tempat terhormat: paling depan. Demikian juga para pejabat lainnya, termasuk aku. Selalu mendapat tempat terhormat.
Gereja, rupanya, mau berterima kasih atas sumbangan kami yang jumlahnya mencengangkan dan, karena itu, menimbulkan decak kagum umat. Menurut mereka, itu sangat bagus. Bahwa sumbernya haram, bagi mereka tidak penting. Bagi mereka, juga tidak penting apakah penggunaan dana itu dilaporkan secara rinci atau tidak. Yang penting ada sumbangan dan sumbangan itu besar. Titik. Untuk apa dana itu, itu urusan gereja dengan Tuhan yang disembahnya.

Dalam tautan dengan penggunaan uang sumbangan umat tersebut, aku ingat sebuah pertemuan dengan para pengurus kelompok umat basis di paroki kami beberapa waktu lalu. Saat itu, ada yang menghendaki perlunya laporan pertanggungjawaban uang kolekte, tetapi pastor yang memimpin rapat itu mengatakan bahwa tradisi gereja bukan begitu. Mengumpulkan sumbangan yes, tetapi mempertanggungjawabkannya no.
Pada saat itu, aku ingat, semua perserta rapat mengangguk-angguk. Tanda sepakat, tanpa protes. Semua, sepertinya, maklum bahwa pertanggungjawaban penggunaan uang hanya berlaku di pemerintahan. Juga di perusahaan swasta yang, pada umumnya, punya semboyan ini: mengeluarkan modal sekecil mungkin untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan, bila perlu, menghalalkan segala cara, termasuk, misalnya, memberikan upah jauh di bawah standar minimum provinsi.
Kembali ke Wae Sapo. Setelah tertangkap, dia mendekam di rumah tahanan pemerintah kota. Kasihan, memang, tetapi itulah yang terjadi. KPK, rupanya, sangat objektif, walaupun ada rumor di lingkungan elit ibu kota provinsi kami bahwa KPK hanya berani tangkap para tersangka korupsi yang tidak punya kuasa untuk menangkap balik anggota KPK. Yang punya wewenang untuk menangkap balik pimpinannya, KPK tidak berani. Takut setengah mati.

Aku paham mengapa KPK begitu. Mereka tidak mau tragedi Abraham Samad dan Bambang Wijanarko, pimpinan KPK sebelumnya, terjadi pada mereka. Saat itu, dua pendekar antikorupsi itu dengan gagah-berani mendakwa seorang pejabat tinggi polisi terlibat korupsi dan, karena itu, mereka siap memborgolnya. Tentu saja secara legal sesuai dengan perintah undang-undang. Sayangnya, sebelum polisi itu diborgol, ketua KPK diborgol lebih dahulu atas sebuah kasus rekaan, yang tidak relevan, tetapi dianggap sebagai pembenar, kata kabar angin itu saat itu.
Walaupun hanya berani menangkap orang yang tidak bisa menangkap balik petingginya, KPK, aku pikir, sudah sangat berhasil. Puluhan, bahkan ratusan orang yang bernasib sial seperti Wae Sapo sudah diringkus KPK. Yang beruntung, aku dan, aku duga, ribuan lainnya seperti aku yang masih bebas berkeliaran.
Aku bilang kami beruntung. Sebab yang Wae Sapo lakukan bersama ribuan orang lain yang sudah tertangkap seperti dia adalah juga yang kami lakukan. Dalam banyak hal, bahkan, yang kami lakukan jauh lebih jelek daripada yang dilakukan Wae Sapo dan kawanan sialnya. Wae Sapo, misalnya, “hanya” punya satu rumah mewah di Jakarta, aku dua. Wae Sapo hanya punya lima miliar di rekening banknya, aku 10 miliar. Dari mana itu uang kalau bukan melalui korupsi?

Aku juga tahu banyak pejabat di negeri ini yang awalnya tidak punya apa-apa, tetapi kemudian menjadi mahakaya karena korupsi. Mereka, seperti aku, tidak tertangkap karena berhasil membungkam para penegak hukum dengan uang miliaran rupiah. Atau dengan sebidang tanah yang luas.
Walaupun demikian, aku tetap saja rasa was-was. Rasa tak aman dan tak nyaman: makan nasi terasa seperti makan sekam. Tidurpun tak lagi nyenyak. Aku ketakutan bak rusa timor kecil yang dibidik pemburu bersenjata lengkap. Setiap ketukan di pintu rumahku menakutkan. Aku sangka itu ketukan aparat yang siap memborgolku. Setiap telepon tak bernama yang masuk ke handphone-ku dikira telepon dari penegak hukum yang menanyakan alamatku untuk tangkap aku. Aku amat sangat takut. Takut sekali.
Untung aku tak hilang akal. Aku berusaha keras melawan rasa takut itu dengan berbuat baik. Uang yang aku peroleh secara tidak halal itu aku bagikan kepada sebanyak mungkin orang yang, aku rasa, membutuhkannya. Aku jadi dermawan. Aku hamburkan hartaku kepada yang miskin untuk bantu mereka beli beras, bayar uang sekolah anaknya atau apapun. Karena kemurahan hatiku, akupun semakin populer. Rasa takutkupun hilang ditelan popularitasku.

Saat popularitasku semakin meluas dan menguat, beredar kabar burung bahwa aku mau maju sebagai calon wali kota pada pilkada berikutnya di kotaku. Menurut kabar itu, tidak ada makan siang gratis; tidak ada orang yang murah hati kalau tidak ada maunya. Pasti ada udang cerdas di balik batu karang Kota Karang, nama tak resmi Kota Pukang.
Karena kabar burung itu, banyak orang menelponku. Mereka menyatakan siap mendukungku. Dengan catatan, aku harus beri mereka bantuan secara lebih sering dan lebih banyak lagi. Ada juga yang memintaku membuka “Golo Desat Center,” sesuai dengan namaku, Golo Desat. Center itu, kata mereka, bertugas untuk mendata jumlah warga miskin di Kota Pukang supaya aku bisa membantu mereka secara lebih teratur. Tujuannya, kata mereka, untuk membuat yang miskin itu sejahtera. Juga sebuah ajakan terselubung supaya mereka pilih aku menjadi wali kota mereka nanti.

Ada juga yang mengusulkan agar center itu menyediakan anakan tanaman seperti mangga dan nangka serta sawo untuk ditanam di kebun pemerintah kota yang nanti aku harus bangun. Juga mereka memintaku menyiapkan sebanyak mungkin anak sapi, kuda, babi, dan kerbau supaya warga kota yang menganggur punya pekerjaan sebagai peternak di pinggiran kota. Juga modal usaha bagi warga kota yang miskin supaya mereka menjadi pengusaha.
Aku tentu saja bertekad kuat untuk melaksanakan semua usulan itu. Iya, semuanya. Dengan itu, aku terus bermimpi, peluang menjadi orang terpenting di kotaku menjadi sangat pasti.
Aku tahu aku butuh banyak uang untuk membiayai center itu. Karena uangku belum cukup, makin rajinlah aku berkorupsi. Itu yang membuat aku jauh lebih korup saya daripada Wae Sapo.

Memang ada saat aku ke Gua Lourdes di tengah Kota Pukang untuk berdoa mohon bimbingan ilahi agar aku segera kembali pada jalan yang benar. Di tempat itu, doa favorit yang kuhafal sejak kecil kulambungkan ke hadirat-Nya sambil berlutut, “Tuhan, terimalah hatiku yang hina dan rendah ini. Bersihkanlah, lalu pulangkan padaku agar layaklah bagi-Mu! Berikanlah aku ketabahan dalam menanggung hidup ini. Semoga segala duka nestapa yang menimpahku dan gembira ria yang kualami membuatku semakin bersyukur dan bersyukur kepada-Mu dan menjadikan semuanya sebagai serangkaian bunga yang harum semerbak mewangi di hadapan-Mu.” Setiap selesai berdoa, aku kepalkan tinju ke udara sebagai bukti kesungguhanku.
Namun, begitu keluar dari taman doa itu, aku kembali ke pelukan korupsi. Aku tetap saja lakukan korupsi. Peristiwa yang dialami Wae Sapo, pada awalnya, memang, menakutkanku, namun lama kelamaan aku mengebal. Akupun terus saja menggauli korupsi untuk mengumpulkan uang sebanyak mungkin.

Dalam perjalanan panjang berkorupsi itu, anehnya, aku, bahkan, merasa mendapat peneguhan. Sebab aku tahu aku tak sendirian. Ada banyak orang seperti aku: rajin ke gereja, tetapi pada saat yang sama rajin pula mencuri. Doa dan kehadiran di gereja, bagiku, juga bagi orang lain seperti aku setali tiga uang. Hanya pencitraan. Agar tetap terlihat positif.
Pernah aku dikecam Wae Lantar, seorang pegawai di kantorku, dalam sebuah rapat tentang sebuah proyek fiktif yang kugagas. Saat itu, kubutuh uang untuk para pendukungku yang secara terus-menerus meminta uang dariku untuk modal usaha mereka.
“Kraeng tidak perlu munafik,” katanya tegas dalam rapat yang tak pernah kulupakan itu. “Terus saja berkorupsi seperti yang Kraeng lakukan selama ini, tetapi sebaiknya jangan lagi ke gereja supaya jangan ada kesan ganda terhadap Lu ,” lanjutnya dengan nada tinggi sambil berdiri dan walk out. Aku amat marah. Hatiku terluka mendengar kata-katanya, tetapi harus aku akui Wae Lantar adalah pegawai teladan. Dalam hidupku, aku belum pernah melihat orang sejujur dan sebersih dia.

Dia miskin, tetapi tidak mau korupsi. Sepatunya tidak pernah diganti; rumahnya, bahkan, masih beratapkan alang-alang. Haram hukum baginya untuk terima uang tanpa alasan yang jelas. Dengan tegas pula dia menolak setiap perjalanan dinas, kalau tujuannya hanya untuk menghabiskan uang negara.
Pernah dia meminta ijin kepadaku untuk pulang sebentar ke kampungnya di Flores.
“Ada urusan keluarga,” katanya saat itu. Akupun tawarkan kepadanya SPPD supaya perjalanannya dibiayai negara. Dia bukan hanya tidak mau, tetapi juga marah-marah.
“Apakah karena Kraeng mau dapat 20% dari biaya perjalanan dinas itu?” tanyanya karena dia tahu aku biasa meminta 20% dari uang perjalanan dinas setiap stafku.
Saat itu, dia, bahkan, mengancam akan melaporkan semua kasus korupsi yang, menurut dia, aku terlibat supaya selesailah sudah perjalanan karirku. Untungnya, dia hanya mengancam. Hanya omong. Dia seperti bawahan lainnya tidak berani melaporkanku kepada aparat yang berwajib. Semua menutup mata terhadap semua aktivitas korupsiku. Minimal, setahuku, hingga saat itu. Mereka tidak sampai hati, rupanya, melihatku menjadi pesakitan.
Sayangnya, kebaikan hati stafku itu tidak membuatku sadar. Aku malah makin rajin berkorupsi. Korupsipun menjadi darah dagingku.
“Akankah aku dipadampatahkan seperti Wae Sapo?” aku sering bertanya dalam hati. Aku tak tahu jawabannya. Hanya Dia yang tahu. Yang kutahu, dengan hasil korupsi yang menumpuk, aku terus saja ke gereja setiap hari Minggu. Duduk paling depan dan bersedekah. Aku terus mengirimkan sebagian kecil hasil korupsiku kepada yang membutuhkannya dan menyimpan sebagian besarnya di rekening bankku. Saat itu, jumlahnya miliaran rupiah.
“Dasar kau ilalang terkulai dan sumbu yang berkedip-kedip,” kata hatiku kepada diriku sendiri. Itu membuatku merasa kecil. Tak berdaya, bahkan, untuk melawan diriku sendiri dengan nafsu korupsi yang tak terbendung dalam diriku.
Tenggelam dalam kelemahan kelam itu, pada suatu hari Minggu di sebuah sudut gereja di Kota Pukang, aku berlutut berdoa. Secara sangat tulus saat itu. Dengan air mata yang menetes membasahi pipi. Aku sangat ingin berubah menjadi baru. Lahir kembali.
“Ampuni aku, Tuhan! Aku ini ilalang terkulai. Sumbu berkedi-kedip. Janganlah memperlakukan aku seturut salahku, tetapi kasihanilah aku seturut besarnya kasih-Mu. Bantulah aku agar menang malawan diriku sendiri!” doaku.
Setelah itu aku meninggalkan gereja itu. Di depan pintu, seseorang yang tak aku kenal menyapaku.
“Anda Golo Desat?”
“Iya,” jawabku.
“Ini surat untuk Anda,” katanya lalu pergi.
Aku membuka surat itu. Sebuah panggilan untuk diperiksa dalam sebuah kasus korupsi.*