Penulis: Onesimus F Napang ( Ketua Presidium PMKRI Cabang Jakarta Timur Priode 2020-2022, Pengurus Pusat FKK HIMGRI Priode 2018-2020)
Proses revormasi sosial dan politik yang terjadi di Indonesia dapat dipandang sebagai peluang bagi upaya-upaya konservasi lingkungan, terutama dengan semakin dibukanya kesempatan bagi masyarakat banyak untuk bersuara dan mengeluarkan aspirasinya.
Meskipun masih merupakan hipotesis, proses reformasi dan demokrasi yang terjadi di Indonesia menjanjikan bahwa keputusan-keputusan penting yang menyangkut lingkungan akan dapat dipecahkan secara lebih objektif, terbuka dan fair. Dan kita sekarang ini berharap tidak ada lagi terjadi pengambilan keputusan sepihak oleh pemerintah.
Apa lagi kalau dalam merumuskan dan mengesahkan suatu aturan atau prodak hukum oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tidak lagi berangkat dari prinsip dasar demokrasi yang tertera pada UUD 1945.
Sehingga ketika ada perlawanan dari masyarakat dengan suatu prodah hukum berarti ada yang tidak beres dalam perumusan suatu UU, karena pada dasarnya upaya untuk meningkatkan pendapatan negara demi kesejahteraan masyarakat umum harus berlandaskan pada prinsip kemandirian, berwawasan lingkungan, memperhatikan kesejahteraan, berdimensi HAM. Sehingga prodak undang-undang itu sendiri bisa dipatuhi oleh seluruh warga masyarakat indonesi.
(Bryant, 1992) “politik ekologi mendorong para ahli untuk menganalisis sebab-akibat yang lebih jauh daripada sekedar sistem bio-fisik dan alami”.
Kita menyadari sumber politik kebijakan negara, hubungan antar negara dan kapitalisme gelobal, semuanya bermuara kepada pentingnya tekanan nasional dan gelobal terhadap lingkungan.
Dalam konteks kebijakan negara, menggambarkan bagaimana kerangka ekologi politik memperluas pandangan para ahli tentang perubahan lingkumgan.
Kebijakan negara juga memiluki potensi besar untuk mengatur hubungan antara manusia dan lingkungan karena kebijakan tersebut akan membantu mengembangkan preoritas dan prektek-praktek yang harus dijalankan oleh negara, termasuk juga kerangka diskusi tentang perubahan lingkungan.
Maka dengan demikian asal-usul, isi, implementasi dan dampak suatu kebijakan sangat penting untuk dipahami oleh kepala negara dan juga DPR kita.
Undang-Undang Minerba, Mineral dan batubara merupakan sumber daya alam tak terbarukan yang mempunyai peranan pentingdalam memenuhi hajat hidup orang banyak, serta memberi nilai tambah secara nyata bagiperekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Kegiatan usaha penambangan mineral dan batubara yang mengandung nilai ekonomi dimulai sejak adanya usaha untuk mengetahui posisi, area, jumlah cadangan, dan letak geografi dari lahan yang mengandung mineral dan batubara.
Setelah ditemukan adanya cadangan maka proses eksploitasi(produksi), angkutan, dan industri penunjang lainnya akan memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi sehingga akan terbuka persaingan usaha di dalam rangkaian industri tersebut.
Sebagai kegiatan usaha, industri pertambangan mineral dan batubara merupakan industri yang padat modal (high capital), padat resiko (high risk), dan padat teknologi (high technology). Selain itu, usaha pertambangan juga tergantung pada faktor alam yang akan mempengaruhi lokasi dimana cadangan bahan galian.
Dengan karakteristik kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara tersebut maka diperlukankepastian berusaha dan kepastian hukum di dunia pertambangan mineral dan batubara. Tahun 2009merupakan babak baru bagi pertambangan mineral dan batubara di Indonesia dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan PokokPertambangan (UU No.11 Tahun 1967).
Perubahan mendasar yang terjadi adalah perubahan dari sistemkontrak karya dan perjanjian menjadi sistem perijinan, sehingga Pemerintah tidak lagi berada dalamposisi yang sejajar dengan pelaku usaha dan menjadi pihak yang memberi ijin kepada pelaku usaha diindustri pertambangan mineral dan batubara.
Kehadiran UU Minerba tersebut menuai pro dan kontra.Ada sementara kalangan yang berpendapat bahwa beberapa kebijakan dalam UU Minerba tersebuttidak memberikan kepastian hukum terkait dengan kegiatan usaha di bidang pertambangan mineral danbatubara dan memberikan hambatan masuk bagi pelaku usaha tertentu.
Pada tahun 2009 DPR telah mengsahkan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral danBatubara (UU Minerba), yang merupakan revisi dari UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan. Revisi dilakukan, terutama untuk mengembalikan fungsi dan kewenangan negaraterhadap penguasaan sumber daya alam yang dimiliki, dan diharapkan dapat membawa perbaikandalam pengelolaan sektor pertambangan di Tanah Air.
Dengan demikikian amanat Pancasila dan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, benar-benardapat diwujudkan.
Jika dibandingkan dengan UU No 11 tahun 1967, UU Minerba memang telah memuat beberapaperbaikan yang cukup mendasar. Yang paling penting di antaranya, adalah ditiadakannya sistem kontrakkarya bagi pengusahaan pertambangan yang digantikan dengan sistem izin usaha pertambangan (IUP).
Selain dari pada itu pengesahan perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). DPR memutuskan UU Minerba dalam rapat paripurna pada Selasa 12 Mei masih menyisakan kontroversi.
Suara penolakan bermuara kepada sikap tidak terbuka dan tidak bermanusiawi DPR RI karena disahkan dalam situasi pandemi Covid-19 yang dimana semua warga masyarakat dan Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS) sibuk dan diselimuti oleh rasa ketakutan dengan penyebaran wabah pandemi, sehingga ada indikasi bahwa paripurna di DPR dalam mengesahkan UU Minerba yang baru ini tidak mau melibatkan suara dan aspirasi masyarakat disamping itu juga bisa dinilai UU Minerba ini cacat secara hukum karena tidak ada pembahasan dengan publik yang menunjukkan tidak adanya keterbukaan.
Hal ini sangat bertentangan dengan asas pembentukan perundangan. Padahal prodak UU yang berhubungan lansung dengan hazat hidup masyarakat harus betul-betul dikaji secara koperhensif dan perlu mendengar aspirasi masyarakat.
Mega-proyek lahan gambut di propinsi Kalimantan Tengah, mungkin bisa menjadi salah satu contoh nyata yang sangat kontroversi dan merepresentasikan kompleksitas, ketidakpastian, perubahan persoalan kebijakan dan efek sampingnya ke lingkungan hidup. Proyek ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan sosial dan politis pemerintah di jaman Orde Baru di bawah Presiden Suharto untuk mempertahankan swasembada pangan.
Sebagaimana banyak dikupas dimedia massa, proyek tersebut didasari oleh kepentingan untuk menjaga swasembada pangan khususnya beras, yang menjadi makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu merupakan proyek yang bersifat politis, sekaligus proyek yang mendapat perhatian besar dari Presiden Suharto sendiri pada jaman itu, berbagai pertimbangan teknis, lingkungan, ekonomis, dan sosial cendrung diabaikan.
Lebih lanjut sistem sosial dan politik yang sangat represif saat itu juga tidak memungkinkan isu-isu lingkungan dibahas dan dikaji secara terbuka, fair, dan objektif.
Sekali pemerintah pusat telah menentukan, masyarakat dan pemerintah daerah tidak mempunyai kekuatan untuk menolak atau bahkan untuk mempertanyakan proyek tersebut.
Suara-suara yang berlawanan dengan keputusan pemerintah dapat dikategorikan sebagai mereka yang melawan pemerintah atau bahkan sebagai pemberontak yang perlu diberikan pelajaran atau hukuman. (**)