MANGGARAI – Layar lebar Bioskop Indonesia kedatangan sebuah koleksi baru yaitu sebuah film dokumenter.
Karya film dokumenter ini merupakan kisah tentang 7 (tujuh) individu dari pelosok Indonesia yang berkontribusi bagi upaya menjaga kelestarian alam.
Salah satunya ialah sajian dari upaya pemberdayaan umat oleh seorang imam di pedalaman Pulau Flores, tepatnya dari Keuskupan Ruteng, Kabupaten Manggarai.
Ialah karya Romo Marselinus Hasan Pr, seorang imam dari Keuskupan Ruteng menjadi bagian dari film yang berjudul “Semesta” ini.
Dilansir dari katoliknews.com, dalam penjelasan terkait film tersebut, dinyatakan bahwa sejak tujuh tahun lalu, Romo Marsel memimpin penduduk Desa Bea Muring, di mana ia bertugas sebagai Pastor Paroki untuk membangun bersama pembangkit listrik tenaga mikro hidro dengan memanfaatkan aliran sungai alami.
“Hasilnya, penduduk bisa menikmati listrik yang bersih dan berkelanjutan dari pembangkit listrik yang ramah lingkungan,” ujarnya.
“Selain mendapatkan manfaat listrik, penduduk desa semakin giat menjaga lingkungan demi menjaga pasokan aliran sungai, yang dalam jangka panjang bisa berdampak positif dalam memelankan laju perubahan iklim,” ungkap Dia.
Film ini dijadwalkan akan tayang di bioskop mulai 30 Januari 2020.
Nicholas Saputra, produsernya mengatakan, dirinya berharap film dokumenter ini dapat membuka wawasan dan memberikan inspirasi untuk sekecil apa pun.
“Sebab apa pun latar belakang agama, budaya, profesi, dan tempat tinggalmu, kita tetap bisa berbuat sesuatu untuk alam Indonesia dan dunia yang sekarang tengah mengalami krisis,” katanya.
Sebelumnya film ini berhasil menjadi nomine dalam kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik di Festival Film Indonesia 2018.
Poser film dokumenter “Semesta”
Film ini juga terseleksi untuk diputar di Suncine International Environmental Film Festival (SIEFF) yang berlangsung di Barcelona, Spanyol, pada 6-14 November 2019. SIEFF merupakan sebuah festival film di Barcelona yang khusus untuk film dokumenter bertema lingkungan.
Apa yang Dilakukan Romo Marsel?
Dikutip dari Sinar Harapan, upaya Romo Marsel bermula dari pengalaman rusaknya generator listrik yang biasa dipakai di kediamannya, yang membuat malamnya harus bergulat dengan gelap gulita.
Namun, situasi kegelapan itulah yang memunculkan ide untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH).
“Ketika ke kota dan signal internet cukup lancar, saya pakai untuk browsing mencari cara paling mudah membangun PLTMH. Saya cari kontak siapa yang bisa lakukan dan mendapat nomor kontak Pak R. Budi Yuwono,” kata Marsel.
Pak Budi itu kemudian yang menjadi tenaga teknis dan membantu pelaksanaan proyek-proyeknya.
Romo Marsel kemudian mulai belajar potensi air yang ada di sekitar tempat tinggal, sekaligus tempatnya bekerja sebagai imam Keuskupan Ruteng tahun 2010 lalu. Ia lalu mengurus ijin setelah mendapat restu dari atasannya, Uskup Keuskupan Ruteng.
“Setelahnya, saya menjalin komunikasi dengan Pak Budi. Sepakat, dia yang bangun dan sekaligus kepala proyeknya. Dia yang siapkan semua peralatan pengerjaan dan pemeliharaanya. Saya menggerakan masyarakat agar mereka mau dan terlibat dalam pembangunan PLTMH itu,” katanya.
“Masyarakat setempat juga menyumbangkan tenaga. Jadi, biaya lebih murah. Gereja sebagai lembaga menjadi penanggung jawab. Semuanya mendukung,” tambah Romo Marsel.
Program ini mulai berjalan pada 2012, yang dimulai dengan pembangunan PLTMH di Desa Deno, Kecamatan Poco Ranaka, Kabupaten Manggarai Timur untuk memenuhi kebutuhan listrik di tiga desa yakni Deno, Leong dan Arus.
Setelah sukses di sini, ia mengembangkannya di tempat lain, bekerja sama dengan rekan imam yang menjadi pastor paroki.
“Kalau kembangkan di tempat lain, mesti ada usulan dari warga terlebih dahulu. Karena nanti ada soal lahan dan model partisipasi mereka,” katanya.
Pada tahun-tahun berikutnya satu per satu PLTMH pun berdiri dan listrik pun bisa dinikmati warga Desa Rana Mese, Kecamatan Sambi Rampas, Manggarai Timur (2013), empat desa di Kecamatan Poco Ranaka yakni Melo, Golo Ndari, Compang dan Golo Wune, tiga desa di Kecamatan Elar yaitu Biting, Rana Gahpang, Compang Teo dan kelurahan Tiwu Kondo (2015).
Pada tahun 2017 PLTMH mampu menerangi Desa Rego, Kecamatan Macang Pacar, Kabupaten Manggarai Barat.
PLTMH yang digagas oleh Marsel Hasan bisa berjalan selain didukung oleh dana swadaya masyarakat juga memanfaatkan Program Strategic Planning and Actions to Strengthen Climate (SPARC) yang mendapat dukungan dari Global Environment Facility (GEF) dan United Nations Developmen Program (UNDP).
Bantuan dana dari Program SPARC untuk PLTMH yang sudah dilakukannya sebesar Rp 1,367 miliar.
Sementara dana swadaya dari masing-masing kepala keluarga rata-rata dipungut sebesar Rp 1,7 juta.
“Pemerintah Manggarai Timur juga beri bantuan sebesar Rp 170 juta untuk bangun PLTMH Wae Rina, Wae Lenger Menggol dan Wae Laba Elar. Sedangkan PPIP dan PNPM beri bantuan sebesar Rp 550 jta untuk proyek Mae Mese Wangka,” jelasnya.
Romo Marsel melihat upayanya sejalan dengan ensiklik atau surat amanat dari Paus Fransiskus pada 2015 berjudul ‘Laudato Si’ di mana dikatakan bahwa aktivitas yang berkaitan dengan lingkungan hidup hendaknya memperhitungkan hak dasar kaum miskin dan dan mereka yang kurang mampu. (red)