DENPASAR – Mantan Wakil Gubernur Bali Periode 2013-2018 I Ketut Sudikerta kini sudah dua kali menjalani Persidangan di Pengadilan Negeri Denpasar.
Pertama, pada Kamis (12/9) lalu, Politisi Partai Golkar itu menjalani sidang Perdana untuk mendengarkan dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum yang terdiri dari Eddy Arta Wijaya, Ketut Sujaya, dan Martinus T. Suluh. Saat itu juga, Penasihat hukum Sudikerta langsung membaca eksepsi atau nota keberatan.
Sedangkan pada sidang kedua, Kamis (19/9) kemarin, Sudikerta kembali didudukan di depan meja hijau untuk menjalani sidang lanjutan dengan agenda tanggapan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas nota keberatan (eksepsi) yang diajukan Sudikerta bersama tim penasihat hukumnya.
Dalam dua kali menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Denpasar ini, dukungan mengalir datang kepada mantan Wabup Badung dua periode ini baik dari keluarga, kerabat dan juga dari temanya sesama politisi misalkan Politisi PDI Perjuangan Jaya Negara yang datang langsung ke Pengadilan Negeri Denpasar saat sidang kedua ini.
Sembari menunggu selesainya sidang untuk terdakwa Wayan Wakil dan Ngurah Agung, terlihat Jaya Negara yang mengenakan busana adat berbincang dengan Sudikerta di kursi tunggu ruang sidang.
Sekitar 30 menit, Jaya Negara berada di ruang sidang. Namun sebelum Sudikerta disidangkan, Jaya Negara terlebih dahulu meninggalkan ruang sidang.
JPU mendakwa politisi asal Pecatu itu karena melakukan penipuan, pemalsuan, serta pencucian uang yang dilakukan bersama I Wayan Wakil dan Anak Agung Ngurah Agung yang keduanya ini menjalani sidang pada hari yang sama secara terpisah.
Adapun yang jadi korban dalam perkara ini adalah bos Maspion Grup, Alim Markus dengan nilai kerugian Rp 149 miliar lebih.
Di tengah menghadapi kasus hukum ini, Sudikerta yang juga pernah menakhodai Partai Golkar Daerah Bali ini menulis surat yang dalam isinya menguraikan banyak hal terkait kasus yang menimpa dirinya.
Dengan menggunakan tulisan tangan berikut isi surat Sudikerta.
Saya mengapresiasi para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Sebagai warga negara yang taat hukum saya ikuti proses hukum yang menimpa diri saya dalam berbisnis.
Oleh karena itu saya perlu meluruskan kepada publik terhadap kasus saya ini sehingga tidak ada opini macam-macam.
Yaitu 2013 saya didatangi oleh Maspion (Hendry K dan WS) menyampaikan mau berinvestasi di Bali dan menanyakan tanah saya yang 3.300 M2/16249 apakah dijual.
Saya jawab dijual yang penting cocok harga dan lahan lelang bisa digabung dengan tanah Pak Wayan Wakil yang 3865 yang dibeli dari puri dengan akta dan NJOB saya tidak tahu.
Coba saya telpon Pak Wayan Wakil dan datanglah Pak Wakil saat itu dan menujuk sertifikat dilihat oleh beliau (HK) kalau ada kecocokan maka dicek keabsahan sertifikat tersebut melalui Notaris Nely ke BPN.
Selang seminggu keluar hasilnya, bersih tidak ada catatan. Lalu sampai sebulannya tidak ada perkembangan dari Maspion. Baru pada bulan ke-3 datang Maspion (HK, WS) membawa perkembangan yang berbeda bukan membeli tetapi bekerjasama membangun hotel bintang 5.
Selanjutnya dilakukan pembukaan inves baik di Bali maupun di Surabaya untuk mencapai kata sepakat.
Kalau kerjasama, ke-dua aset dimasukan saham dan saham PT dibeli oleh Maspion Group 55% dari 100% saham.
Sehingga menjadi 55% Group Surabaya dan 45% Group Bali. Karena harus dibentuk PT join investasi (kerjasama/akta 37 Not Will Prey) penjelasan SHGB sampai pada pinjaman ke Bank Panin dilakukan oleh Maspion Group (HK dan WS). Dibayarkan kepada PT Pecatu Bangun Gemilang saham tersebut.
Jadi secara tidak legal standing sertifikat dikuasai oleh Maspion Group lalu dijaminkan di Bank Panin. Sehingga kasus ini murni perdata.
Demikianlah dapat saya jelaskan keronologis kasus saya ini melihat dari akta 37 bahwa di sana bila ada perselisihan harus dilakukan secara musyawarah mufakat di antara PT dan bila tidak dapat diselesaikan tentu dillakukan gugatan hukum perdata.
Terimakasih selamat sore.
Hormat saya
Sudikerta
Untuk diketahui, dalam perkara ini, khusus untuk Sudikerta, tim jaksa menerapkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
“Dengan memakai nama palsu, atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang,” ujar jaksa saat menyampaikan penggalan dakwaan kesatu terhadap Sudikerta.
Dalam uraian jaksa, perkara ini berawal sekitar Mei 2011 lalu. Saat itu, Sudikerta dan dua terdakwa lainnya melakukan proses pergantian sertifikat hak milik atau SHM terhadap lahan seluas 38.629 meter persegi atas nama Pura Luhur/Jurit Uluwatu, Pecatu, Kelurahan Jimbaran, Kuta Selatan, Badung. (rn/wn/red)