Oleh: Peter Galis Antong (Penulis Adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Uniflor Ende)
Keberadaan masyarakat hukum adat di Indonesia secara faktual sudah ada jauh sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masyarakat hukum adat adalah kesatuan masyarakat bersifat teritorial atau geneologis yang memiliki kekayaan sendiri, memiliki warga yang dapat dibedakan dengan warga masyarakat hukum lain dan dapat bertindak ke dalam atau luar sebagai satu kesatuan hukum (subyek hukum) yang mandiri dan memerintah diri mereka sendiri.
Secara faktual setiap Provinsi di Indonesia terdapat kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dengan karakteristiknya masing-masing yang telah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Undang-undang Dasar 1945 telah menegaskan keberadaan masyarakat hukum adat.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) dikatakan bahwa :
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Masyarakat hukum adat juga merupakan bagian dari warga negara Indonesia yang juga memiliki hak-hak konstitusional sebagai warga negara yang sebagaimana dijelaskan dalam UUD 1945 Pasal 28I ayat (3) bahwa : “Identitas budaya dan masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”
Jelas sekali di dalam pasal tersebut tertera bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, tetapi pada kenyataannya, masyarakat adat masih sering kali menerima perlakuan-perlakuan diskriminatif.
Banyaknya keberagaman suku, bangsa, budaya, adat, serta agama di Indonesia, seringkali menimbulkan suatu konflik dan juga sering terjadi adanya diskriminasi. Adanya perlakuan diskriminatif tersebut telah menindas hak-hak mereka sebagai manusia, salah satu contoh yang hingga saat ini belum terselesaikan yaitu adanya konflik dan diskriminasi mengenai tanah dan sumber daya alam terhadap masyarakat adat.
Masyarakat hukum adat atau yang lebih dikenal sebagai masyarakat adat merupakan masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, sosial, budaya, dan wilayahnya sendiri.
Permasalahan masyarakat adat kini telah menjadi perhatian global sebagaimana terwujud dalam bentuk instrumen internasional. Konflik tenurial atau mengenai tanah dan sumber daya alam ini kerap kali dirasakan dan terjadi pada masyarakat adat. Sering kali masyarakat adat ini dikalahkan oleh sistem ekonomi yang lebih mengutamakan keuntungan si pemilik modal. Tidak hanya sistem ekonomi, masyarakat adat juga dikalahkan pula dengan sistem hukum di Indonesia yang tidak menghargai tradisi dan hukum adat mereka.
Di dalam UUD 1945 Pasal 28 berisikan hak-hak warga negara yang sepatutnya harus saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Namun, hingga saat ini pun penindasan serta perampasan hak-hak tersebut masih sering terjadi, padahal seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa masyarakat hukum adat juga merupakan bagian dari warga negara Indonesia yang memiliki hak-hak asasi maupun hak-hak konstitusional yang harus dihargai dan dihormati.
Dari permasalahan di atas mengenai hak tanah serta sumber daya alam yang menimpa masyarakat hukum adat, negara seolah-olah mengabaikan begitu saja hak-hak masyarakat hukum adat. Sudah sepatutnya bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan hak-hak masyarakat hukum adat yang kerap kali dilanda oleh permasalahan penindasan dan perampasan hak-hak asasi maupun hak konstitusional yang belum terselesaikan hingga saat ini .
Pola pembangunan ekstraktif berbasis lahan berskala luas adalah penyebab utama marjinalisasi masyarakat adat. Pola pembangunan tersebut ditopang oleh politik hukum agraria yang memarjinalkan hak masyarakat adat, sehingga dalam tingkat operasional terjadi aksi perampasan lahan (land grabbing) tanah-tanah adat skala luas.
Situasi ini mengakibatkan konflik tanah dan sumber daya alam membara dimana-mana, yang memakan waktu bertahun-tahun. Konflik-konflik ini pada derajat tertinggi menjelma menjadi konflik sosial yang kompleks.
Marjinalisasi hak masyarakat adat sendiri berhulu pada hal-hal seperti: pengambilan tanah-tanah adat berdalil hak menguasai Negara (kekuasaan Negara atas tanah) sehingga dengan hak tersebut Negara dapat memberi izin kepada pelaku usaha atau pemilik modal dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) yang dalam prakteknya banyak perusahaan yang mencaplok tanah masyarakat adat.
Diskriminatif hak-hak masyarakat adat itulah yang mendorong lahirnya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara atau yang sering kita sebut AMAN.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang lahir pada tahun 1999 adalah fenomena perkembangan skala gerakan masyarakat adat Indonesia tersebut. AMAN telah berhasil mengkonsolidasikan gerakan masyarakat adat, agraria dan lingkungan hidup dalam suatu visi gerakan nasional yang terhubung dengan gerakan internasional Indigenous Peoples.
Aliansi Masyarakat Hukum Adat Nusantara (AMAN) bersama dengan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu (Riau) dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu (Banten) melakukan uji materil (judicial review) terhadap UU Kehutanan ke Mahkamah Kontitusi (MK). Alhasil, MK membuat suatu keputusan yang penting, yakni dengan menetapkan bahwa hutan adat bukan lagi menjadi bagian dari hutan negara dibawah menteri kehutanan, melainkan merupakan bagian dari wilayah adat dan dimiliki oleh masyarakat hukum adat.
Dengan dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/PUU-X/2012 (Putusan MK 35) yang menyebutkan hutan adat bukanlah hutan negara telah menjadi paradigma baru bagi pengakuan dan penguasaan hutan adat oleh masyarakat hukum adat.
Putusan MK 35 ini telah merubah status dan kedudukan hukum hutan adat, dari yang awalnya dalam Pasal 1 angka 6 UU No 41 tentang Kehutanan yang menyebutkan ‘’hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat menjadi‘’hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat’’.
Menanggapi amar putusan MK ini, pemerintah telah ‘’membuka pintu’’ untuk mengakui keberadaan hutan adat yang ditempati oleh masyarakat adat dengan dikeluarkannya 3 peraturan teknis, yakni peraturan menteri dalam Negri (Permendagri) No. 52 Tahun 2014, peraturan menteri lingkungan hidup dan kehutanan (Permenlhk) No. 32 Tahun 2015, dan Permenlhk No. 83 Tahun 2016.
Putusan MK No. 35 tahun 2012 menegaskan dua aspek penting bagi masyarakat hukum adat yaitu Pertama, menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi hutan Negara, dalam putusan MK menyebutkan bahwa hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah adat milik masyarakat adat, kedua, Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan permohonan pencabutna pasal 67 UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan kembali menegaskan pengakuan bersyarat bagi masyarakat adat.
Putusan MK 35 merupakan sebuah terobosan hukum yang dilakukan oleh hakim MK untuk memberikan pengakuan masyarakat adat dan wilayah adatnya karena putusan ini semakin menegaskan bahwa masyarakat hukum adat adalah subjek hukum dan pemilik hak atas wilayah adat. Mahkamah konstitusi berpandangan pengakuan keberadaan masyarakat adat melalui perda masih relevan dan tidak inkonstitusional sepanjang belum adanya undang-undang masyarakat adat, dengan demikian pengakuan bersyarat keberadaan masyarakat adat melalui perda sebagaimana dimandatkan undang-undang kehutanan masih tetap berlaku.
Upaya pengimplementasian Putusan MK No. 35 dapat ditempuh dengan memanfaatkan sejumlah peraturan perundang-undangan yang memberi pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 tahun 2014 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah menyatakan bahwa produk hukum daerah itu meliputi peraturan daerah atau nama lainnya, peraturan kepala daerah, peraturan bersama kepala daerah, peraturan DPRD dan peraturan yang berbentuk keputusan meliputi keputusan kepala daerah, keputusan DPRD, Keputusan Pimpinan DPRD, dan keputusan badan kehormatan DPRD.
Produk hukum daerah ada yang bersifat pengaturan dan ada yang bersifat penetapan. Produk hukum yang bersifat pengaturan memberikan aturan yang berlaku umum terhadap suatu bidang. Permendagri No. 1 Tahun 2014 memberikan contoh produk hukum daerah yang bersifat pengaturan adalah peraturan daerah atau peraturan daerah khusus, peraturan kepala daerah (peraturan gubernur atau peraturan bupati/walikota) peraturan bersama kepala daerah (peraturan bersama gubernur atau peraturan bersama bupati/walikota) atau peraturan DPRD.
Sementara itu produk hukum daerah yang bersifat penetapan adalah produk hukum yang bersifat konkrit, individual, final dan berakibat hukum pada seseorang atau badan hukum perdata. Termasuk ke dalam kategori penetapan ini adalah keputusan kepala daerah (Keputusan gubernur atau keputusan bupati/walikota), keputusan DPRD, keputusan pimpinan DPRD, dan keputusan Badan Kehormatan DPRD.
Sejumlah bentuk produk hukum daerah tersebut dapat dijadikan kerangka hukum untuk mengimplementasikan Putusan MK No. 35 baik dalam bentuk Peraturan Daerah dan/atau Keputusan Kepala Daerah. Salah satu peraturan tersebut adalah Peraturan Menteri dalam Negeri No. 52 tahun 2014 tentang pedoman pengakuan dan perlindungan hukum masyarakat hukum adat dan selanjutnya disebut Permendagri No. 52 tahun 2014 yang mengatur pengakuan dan perlindungan hukum masyarakat adat dalam bentuk surat keputusan kepala daerah. Peraturan ini telah mengakomodir Putusan MK No. 35 dan secara jelas mengatur mengenai keberadaan masyarakat hukum adat dan wilayah adat.
Pengakuan dan Perlindungan masyarakat hukum adat oleh Permendagri No. 52 tahun 2014 dibuat dalam bentuk Peraturan Daerah ataupun keputusan Kepala Daerah. Prosedur pengakuan dan perlindungan hukum atas keberadaan masyarakat hukum adat dimulai dari Bupati/Walikota membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat yang kemudian dari Panitia akan melalukan tahapan yaitu: identifikasi masyarakat hukum adat; verifikasi dan validasi masyarakat hukum adat, dan; penetapan masyarakat hukum adat.
Setelah terbentuk Panitia Masyarakat hukum adat maka tahap awal yang dilakukan adalah melakukan identifikasi masyarakat hukum adat dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: Sejarah masyarakat hukum adat, Wilayah adat, Hukum adat, Harta kekayaan dan/atau benda-benda adat, Kelembagaan/sistem pemerintahan adat.
Poin-poin pertimbangan tersebut diatas yang hasilnya nanti akan divalidasi dan diverivikasi selama jangka waktu 1 (satu) bulan. Hasil verifikasi Panitia Masyarakat hukum adat ini kemudian akan disampaikan dalam bentuk rekomendasi kepada Bupati/Walikota untuk kemudian ditetapkan dalam bentuk keputusan kepala daerah.
Surat Keputusan Kepala Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat nantinya menjadi landasan hukum bagi masyarakat hukum untuk mengatur wilayah adat termasuk hutan adat.
Terbitnya surat keputusan kepala daerah ini juga akan mengatur kewilayahan adat termasuk hutan adat yang telah dikuasai secara turun temurun oleh masyarakat adat dengan pengaturan batas-batas yang jelas dari wilayah adat tersebut.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka bentuk konkrit pengimplementasian Putusan MK No. 35 dalam menjamin kepastian hukum atas penguasaan hutan adat oleh masyarakat hukum adat adalah dengan menghasilkan produk hukum daerah dalam bentuk surat keputusan kepala daerah tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. (*)