Penulis: Lino Darmawan
Desa yang maju, mandiri dan kuat, dapat dilihat dari tingkat kesejahteraan masyarakat yaitu dalam aspek sosial maupun ekonomi. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut Pemerintah Pusat berencana mengalokasikan dana desa sebesar 400 triliun rupiah pada tahun 2019-2024. Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Eko Putro Sanjojo mengatakan, peningkatan alokasi dana desa sebesar 400 triliun rupiah selama 5 tahun itu dimungkinkan karena anggaran dana desa untuk setiap tahunya mengalami peningkatan. Apalagi dalam pembangunan desa membutuhkan dana yang cukup besar (KOMPAS.com, Selasa 26 Febuari 2019).
Dengan adanya kucuran dana sebesar 400 triliun yang akan dialokasikan itu diharapkan desa dapat mengelola potensi yang ada di desa sebagai lumbung emas. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang ada di desa. Sehingga, ketika kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD) ditiadakan (berhubung perubahan kebijakan), desa tetap maju, kuat dan mandiri. Dengan demikian, amanah Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 terealisasi dengan cukup baik.
Dalam rangka mewujudkan pembangunan di desa, kadang-kadang aparatur desa dan masyarakat cenderung lengah. Mereka tidak menghiraukan keuntungan dan manfaat pembangunan bagi masyarakat serta tidak jeli dalam membaca peluang dan potensi yang ada di desa. Sebab mereka lebih mengutamakan atau memprioritaskan pembangunan fisik, dan mengesampingkan pembangunan nonfisik (peningkatan sumber daya manusia). Dengan kata lain pembangunan di desa hanya berpusat pada pembangunan infrastruktur.
Pembangunan infrastruktur menjadi semakin tidak tepat sasar karena tidak ada kajian yang mumpuni terkait alasan dibangunnya infrastruktur tersebut. Padahal, hal semacam ini perlu dibicarakan secara terbuka dalam Musrenbangdes sebagai forum tertinggi dalam pengambilan keputusan tertinggi di desa. Sebab Musrebangdes memainkan peranan penting dalam hal menentukan arah pembangunan desa. Misalnya, terdapat usulan warga untuk mendirikan BUMDes. Usulan semacam ini perlu diakomodasi oleh pemerintah desa apabila keberadaan BUMDes mutlak diperlukan oleh desa. Dengan demikian, tugas Musrenbangdes adalah menentukan dan mempertimbangkan perlu tidaknya BUMDes. Tentu saja, keputusan untuk mendirikan BUMDes didahui oleh sebuah kajian yang mendalam terkait potensi-potensi yang ada di desa. Sehingga pendirian BUMDes murni lahir dari sebuah kebutuhan bersama warga desa.
Urgensi BUMDes
Tenaga Ahli Pengembangan Ekonomi, Kornelis Soge mengatakan “laporan yang masuk ke kantor Program Pengembangan Pembangunan Masyarakat Desa (P3MD) Manggarai Timur hanya ada 20 desa yang memiliki Bumdes yang sah.” (Pos Kupang, 16 Juni 2018).
Hal ini mengisyaratkan bahwa, keberadaan BUMDes di Manggarai Timur masih sangat minim. Oleh karena itu, dibutuhkan pendampingan secara khusus untuk membuat atau megoptimalkan BUMDes di Manggarai Timur.
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) adalah lembaga usaha yang berbadan hukum dan dikelolah oleh desa untuk memperkuat perekonomian desa. BUMDes juga dibentuk berdasarkan kebutuhan bersama dengan mempertimbangkan potensi yang ada di desa. Dengan adanya wadah ini diharapkan desa mampu untuk mengelola potensi SDM dan SDA yang ada.
Artinya, kehadiran BUMDes selain untuk mengembangkan ekonomi di desa, juga dapat memberdayakan masyarakat desa. Melalui BUMDes potensi atau keahlian dari masyarakat dapat dimanfaatkan secara maksimal. Sehingga angka urbanisasi dan pengangguran di desa menjadi berkurang. Oleh karena itu, keberadaan BUMDes sangat penting bagi kemajuan desa dan dapat meningkatkan taraf kesejahtraan masyarakat desa.
Oleh: Lino Darmawan, Anggota biasa PMKRI Cabang Yogyakarta dan anggota Kelompok Studi Tentang Desa (KESA).