- 22
-
22Shares
Penulis: Robertus Dicky Armando
Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa bangunan hukum terus menjadi titik lemah di dalam penegakan hukum jika diperhatikan secara saksama.
Kelemahan itu disebabkan oleh kegagalan, baik individu maupun instansi penegak hukum dalam memahami aspek philosophy of law di dalam keseluruan aktivitas yang diembannya.
Harmonisasi dan sinergitas jiwa dan perilaku akan mengantarkan setiap individu dan institusi penegakan hukum menuju perilaku yang sebenarnya ideal, dalam membangun kerangka kebangsaan di tengah perilaku individu dan institusi.
Suatu fenomena sosial yang sering terjadi dari tiap tahun bahkan tiap generasi kepemimpinan yang selalu mengalami peningkatan yang dinamakan dengan korupsi. Disatu sisi korupsi merupakan realitas perilaku manusia dalam interaksi sosial yang dianggap menyimpang, serta membahayakan masyarakat dan negara.
Menurut Robert O. Tilman seperti halnya keindahan, pengertian korupsi sesungguhnya tergantung dari cara dan dari sudut pandang mana orang memandangnya baik dengan pendekatan secara yuridis, sosiologis, kriminologis, dan politis. Penggunaan suatu perspektif tersebut akan menghasilkan pemahaman yang tidak sama tentang makna korupsi dengan menggunakan perspektif yang lain.
Dari segi semantik, Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisimaupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legalmenyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Ada adagium yang mengatakan bahwa, kekuasaan itu dekat dengan korupsi. Kekuasaan yang tidak terkontrol akan menjadi semakin besar, beralih menjadi sumber terjadinya berbagai penyimpangan.
Makin besar kekuasaan itu, makin besar pula kemungkinan untuk melakukan korupsi. Wewenang yang diberikan sebagai sarana untuk melaksanakan tugas, dipandang sebagai kekuasaan pribadi, karena itu dapat dipakai untuk kepentingan pribadi. Akibatnya, pejabat yang menduduki posisi penting dalam sebuah lembaga negara merasa mempunyai hak untuk menggunakan wewenang yang diperuntungkan baginya secara bebas. Makin tinggi jabatannya, makin besar kewenangannya.
Korupsi pada umumnya dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan dalam suatu jabatan tertentu sehingga karakteristik kejahatan korupsi itu selalu berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan.
Menurut Ibnu Khaldun penyebab-penyebab terjadinya korupsi adalah nafsu untuk hidup mewah dan berlebih dalam kelompok yang memerintah atau kelompok penguasa yang menyebabkan kesulitan-kesulitan ekonomi dalam menopang pembangunan nasional.
10 hari terkahir, fenomena korupsi kembali terjadi di indonesia. Kali ini, korupsi kembali terjadi di Kementrian Sosial Republik Indonesia. Korupsi yang dilakukan oleh Mentri Sosial Juliari Peter Batubara setelah KPK melakukan OTT pada Jumat 5 desember 2020, dini hari. Sangat disesali ternyata korupsi yang dilakukan mentri sosial yaitu bantuan sosial (bansos) untuk korban pandemi covid 19.
Kita sebagai masyarakat kecil yang sangat berharap dari bansos tersebut justru dikorupsi oleh pemberi bansos tersebut. Wadah pandemi ini sangat berdampak pada pertumbuhan ekonomi masyarakat kecil.
Salah satu cara agar dapat bertahan hidup adalah dengan berharap bansos dari pemerintah. iIroninya, ditengah wadah pandemi seperti ini masih ada sekelompok orang yang memanfaatkan situasi dengan memperkayara diri sendiri ditengah rakyat lagi menjerit kelaparan.
Kasus yang meninpah menteri sosial tersebut, KPK mengsangkakan pasala 12 A dan 12B atau pasal 11 UU No. 31 tahun 1999 diubah menjadi UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana krupsi Jo pasal 55 ayat 1 ( KUHP).
Sebagai gambaran, pasal-pasal yang dikenakan kepada Julia Peter Batubara ini tidak mencakup hukum maksimal yakni pidana seumur hidup atau hukuman mati. Jika dilihat dari kasus korupsi yang terjadi di tengah bencana nasional yaitu wabah covid 19, bisa juga dikenakan pasal 2 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam penjelasannya mengatakan bahwa kejahatan korupsi yang dilakukan pada saat berncana alam, krisis ekonomi, dan sebagainya dapat dipidana hukuman mati.
Kendati demikian, KPK telah mengenakan pasal yang lain, akan tetapi kita sepakat bahwa bukan melihat dari suapnya, tetapi melihat korupsi yang dilakukan dimasa pandemi.
KPK selaku penegak hukum harus selangkah seperti yang disampaikan selama ini yakni melakukan penuntutan terhadap kasus dugaan korupsi tersebut dengan pidana mati.
Walaupun nantinya kasus tersebut tidak terbukti di pengadilan, KPK harus melakukan dakwaan dengan pidana mati sebagai bentuk komitmen terhadap pemberantasan korupsi sekaligus juga warming kepada msayarakat untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Kita ketahui bersama dalam teori ada 30 jenis korupsi dan selanjutnya jika diringkat kembali ada tujuk kelompok tindak pidana. Akan tetapi dalam kasus korupsi bansos covid 19 melihat tindak pidana dalam arti luas.
Apalagi dugaan tindak pidana korupsi dilakukan oleh pejabat negara. Ini sebagai ujian bagi penegak hukum, dan bagi pemerintah dalam konsisten memberantas tindak pidana korupsi. Kita sebagai masyarakat biasa berharap pemerintah dan penegak hukum memberikan keadilan seadil-adilnya dan memliki komitmen dalam memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia. (*